KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji syukur atas Kehadirat-Nya
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan makalah filologi tentang “Melestarikan Khazanah Sastra
Lama”. Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak dalam proses pembuatan makalah ini, untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini penulis
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih ada kekurangan
baik dari susunan, kalimat, maupun tata bahasa. Oleh karena itu, saran
dan kritik dari teman-teman dan dosen sangat diharapkan untuk dapat memperbaiki
makalah penulis kedepannya.
Diharap
makalah filologi tentang “Melestarikan Khazanah Sastra Lama” dapat memberikan
manfaat bagi pembaca baik untuk menambah pengetahuan maupun sebagai referensi.
Demikian makalah ini dibuat, terima kasih.
Lubuklinggau, 13 November 2019
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................................. 1
DAFTAR
ISI........................................................................................................................... 2
BAB
I PENDAHULUAN...................................................................................................... 3
A. Latar
Belakang........................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 4
C. Tujuan Pembahasan................................................................................................. 4
D. Manfaat Pembahasan.............................................................................................. 4
BAB
II PEMBAHASAN........................................................................................................ 5
A. Definisi Karya
Sastra Lama..................................................................................... 5
B. Penerapan Teori Filologi Pada Karya Satra............................................................. 10
C. Penyebab Karya Sastra Lama
Kurang Diminati dan Upaya Melestarikannya........ 11
BAB
III PENUTUP................................................................................................................ 14
A. Kesimpulan.............................................................................................................. 14
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................................. 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan karya sastra lama.
Karya sastra ini meliputi beragam jenis dan bentuk, baik syair maupun prosa,
contohnya hikayat, pantun, dongeng, legenda, dan mitos. Karya-karya itu telah
ada sejak ribuan tahun yang lalu. Jika bertolak dari kehidupan sastra lisan,
pengalaman kita lebih panjang lagi. Jadi, kita sudah bersastra mulai pada
milenium pertama, dan terus berlangsung pada milenium kedua. Dalam sepanjang
pengalaman itu kita sudah memiliki hasil sastra yang cukup banyak. Kita
memiliki khasanah sastra lama (klasik) yang tersimpan dalam berbagai bahasa
daerah di seluruh Indonesia.
Kondisi masyarakat yang semakin tidak peduli terhadap
karya sastra lama ini terutama di kalangan remaja, yang lebih memperiotaskan
kesusastraan modern dibandingkan dengan kesusastraan lama. Remaja pada zaman
sekarang menjadikan karya sastra lama hanya sebagai simbol belaka dan tidak
pernah memaknai keindahan karya sastra lama yang sebenarnya. Padahal
kenyataannya, penguasaan terhadap karya
sastra lama memberikan kemudahan tentunya bagi para remaja untuk mengakses
berbagai informasi, pengetahuan dan hiburan secara luas baik melalui buku-buku
bacaan, media massa, elektronik maupun jaringan informasi di dunia maya ataupun
internet. Keindahan akan karya sastra lama ini dapat dirasakan melalui
berbagai karya sastra yang diwariskan. Menyadari fungsi dan arti penting karya
sastra lama ini sudah sepatutnya kita mendalaminya khususnya bagi para remaja
agar karya sastra lama yang telah diwariskan tidak punah dan tidak luntur
begitu saja.
Perkembangan kesusastraan lama Indonesia banyak
mendapat pengaruh dari luar. Karena pengaruh tersebut, akibatnya para remaja
jarang sekali mengaplikasikan karya sastra lama pada kehidupan mereka, dan
mereka lebih dominan menggunakan karya sastra modern dalam keseharian
mereka. Selain itu jika dilihat dari berbagai aspek, maka frekuensi
remaja dalam meminati kesusastraan lama sudah semakin minim. Terbukti dengan
segala sesuatu yang bersifat kesusastraan lama misalnya buku hikayat ataupun
gurindam telah dimuseumkan atau hampir jarang untuk ditemukan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah itu karya satra
lama?
2. Bagaimana penerapan teori
filologi pada karya sastra lama?
3. Apa penyebab karya sastra
lama kurang diminati dan bagaimana upaya melestarikan khazanah karya sastra
lama?
C.
Tujuan Pembahasan
2. Untuk mengetahui bagaimana
penerapan teori filologi pada karya sastra lama.
3. Untuk mengetahui penyebab
karya sastra lama kurang diminati dan bagaimana upaya melestarikan khazanah
karya sastra lama?
D.
Manfaat Pembahasan
Adapun manfaat dalam
penulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat menambah wawasan dan dapat
lebih memahami mengenai definisi karya satra lama, penerapan teori
filologi pada karya sastra lama, penyebab karya sastra lama kurang diminati dan
bagaimana upaya melestarikan khazanah karya sastra lama serta dapat menjadi referensi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Karya Sastra Lama
Sastra merupakan bagian
dari seni, yaitu unsur integral dari suatu kebudayaan yang usianya semakin
menua. Kehadiran sastra hampir bersamaan dengan adanya manusia, hal ini
dikarenakan sastra diciptakan dan dinikmati oleh manusia dan telah menjelma
menjadi bagian dari pengalaman hidup manusia. Ditinjau dari sudut
penciptaannya, perihal kehidupan masyarakat dalam kurun waktu tertentu (Anton
dan Marwati, 2015:1) Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Wellek dan
Warrent dalam (Susanto, 2016:1) mengatakan bahwa sastra adalah kegiatan yang
kreatif atau sebuah karya seni. Sastra juga dapat didefinisikan sebagai karya
yang bersifat imajinatif, fiktif, dan inovatif.
Berdasarkan perkembangannya, sastra
terbagi menjadi dua, yaitu sastra modern dan sastra lama. Sastra modern adalah
sastra yang berkembang setelah masa sastra lama dimana dalam masa ini, terjadi
perubahan media yang digunakan yaitu dari media lisan yang bersifat kuno
menjadi penggunaan media tulisan yang lebih modern. Adapun sastra lama atau
biasa disebut pula sebagai sastra klasik atau sastra tradisional adalah karya
sastra yang tercipta dan berkembang sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke
dalam sastra itu. Kesusastraan
lama adalah karya sastra yang lahir dalam masyarakat lama, yaitu suatu
masyarakat yang masih memegang adat istiadat yang berlaku di daerahnya. Karya
sastra lama biasanya bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat istiadat, serta
ajaran-ajaran agama.
Ciri-ciri karya sastra lama yaitu terikat oleh kebiasaan dan adat masyarakat, bersifat
istana sentris, bentuknya baku, biasanya nama pengarangnya tidak
disertakan (anonim). Jenis karya sastra lama terbagi menjadi dua, yaitu puisi
lama dan prosa lama.
1. Puisi Lama
Puisi lama
merupakan salah satu jenis karya sastra yang telah lama mendapat apresiasi
masyarakat. Puisi lama merupakan karya masyarakat zaman dulu yang bermutu
tinggi karena keindahan bahasa dan kesederhanaannya. Melalui bahasa yang indah
dan ungkapan- ungkapan yang sederhana, masyarakat menuangkan ide, pikiran,
perasaan, dan pengalamannya dalam bentuk puisi lama. Menurut Karmuddin (Wua, 2015:3)
puisi lama merupakan pencerminan atau pancaran masyarakat lama. Melalui karya
sastra inilah masyarakat lama mengungkapkan pengalaman-pengalaman jasmaniah dan
rohaniah dalam kaitannya dengan perasaan suka dan duka serta cita-cita dan
harapannya tentang kehidupan.P uisi lama ini adalah puisi yang terikat oleh
aturan-aturan. Aturan-aturan itu antara lain jumah kata dalam 1 baris, jumlah
baris dalam1 bait, persajakan ( rima), banyak suku kata tiap baris dan irama. Adapun
bentuk-bentuk puisi lama, yaitu:
a.
Mantra
Mantra
adalah kata-kata yang mengandung hikmah atau kekuatan gaib. Kekuatan batin
mantra berupa permainan bunyi dan biasanya bersuasana mitis dalam hubungan
manusia dengan tuhan.
Contoh:
Aku tau menjadi ular
Akar beringin nyungsang di bulan
Dipetok oleh malaikat Jibrail
Dilempar ke bumi menjadi ular
Bukan aku menawar kamu
Malaikat Jibrail lah yang
menawar-nawar
Masuk tawar keluar tawar
Berkat kata Allah
b. Bidal
Bidal adalah kalimat
singkat yang mengandung pengertian atau membayangkan sindiran atau kiasan.Bidal
mempunyai gerak lagu atau irama yang tertentu, walaupun sifatnya tidak begitu
kentara.Oleh karena itu, susunan pada bidal tidak dapat diubah. Bidal digunakan
untuk menyampaikan sesuatu secara tersamar atau dengan jalan sehalus-halusnya.
Contoh:
1) Tua-tua keladi, makin tua makin jadi.
2) Ada budi ada talas, ada budi ada balas.
3) Bagai Kerakap di atas batu, hidup segan mati
tak mau.
c.
Pantun
Joko Santoso (Wua, 2015:4) menyatakan
bahwa kata pantun mengandung arti sebagai,seperti, ibarat, umpama atau laksana
). Pantun adalah puisi yang paling populer dalam sastra klasik. Bentuknya
terdiri dari empat baris. Kedua baris pertama disebut sampiran dan kedua baris
terakhir merupakan isinya. Umumnya, pantun terdiri atas empat larik (empat
baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata, bersajak
akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a. Pantun pada mulanya merupakan sastra
lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.
Contoh:
Nenekku ahli meramu jamu
Dibuatnya ramuan dari resep rahasia
Janganlah kau bosan menuntut ilmu
Agar hidup
tetap berguna sampai tua
d.
Karmina
Karmina diartikan sebagai karya sastra lama
yang berupa pantun dua seuntai yang terdiri atas dua baris, di mana baris
pertama merupakan sampiran dan baris kedua merupakan isi. Pola yang digunakan
adalah a-a. Jumlah suku kata berjumlah 8-12 suku kata.
Contoh:
1)
Kucing garong kucing betina
Kalau bohong masuk neraka
2) Bulan
sabit kuning warnanya
Orang
pelit banyak dosanya
e.
Syair
Dalam kamus istilah sastra, syair adalah jenis puisi
lama yang tiap baitnya terdiri atas empat larik, yang bersajak sama; isinya
dapat merupakan kiasan yang mengandung mitos dan unsur sejarah, atau merupakan
ajaran falsafah atau agama. Syair biasanya panjang-panjang, bentuknya sederhana
dan biasa berisi cerita angan-angan, sejarah dan petua-petua. Pradopo (Wua,
2015:5) mengemukakan ciri-ciri formal syair adalah satu bait terdiri dari empat
baris (larik), pola sajak (rima) akhir syair berupa sajak sama yaitu berpola
a-a-a-a, keempat baris syair saling berhubungan membentuk cerita.
Contoh:
Janganlah engkau berbuat maksiat
Janganlah engkau berbuat jahat
Segerala engkau bertaubat
Agar selamat dunia dan akhirat
f.
Talibun
Talibun
adalah pantun yang lebih panjang. Jumlah barisnya lebih dari empat, namun
selalu genap. Talibun mempunyai cirri-ciri hampir sama dengan pantun, yakni
tiap-tiap baitnya terdiri dari 6, 8, 10, 12 baris atau lebih, tetapi harus
genap jumlahnya. Tiap baris terdiri dari 8 hingga 12 suku kata, tetapi umumnya terdiri dari 10 suku kata. Sajaknya
a-b-c, a-b-c atau a-b-c-d, a-b-c-d.
Contoh:
Berlayar ke pulau antah berantah
Menerjang gulungan ombak
Bersama nahkoda tak kenal kalah
Agar kau tak bersusah payah
Melewati masa depanmu kelak
Tuntutlah ilmu tak kenal lelah
g.
Gurindam
Gurindam adalah suatu bentuk dalam kesusateraan lama yang berasal dari
kesusateraanTamil, yakni sebuah daerah di India bagian selatan (Karmuddin dalam
Wua, 2015:6). Kata gurindam berarti perhiasan atau bunga. Bentuk gurindam
memiliki syarat-syarat sebagai berikut tiap bait terdiri dari dua baris, jumlah
suku kata biasanya 10 hingga 14 suku kata, sajaknya berumus a-a, biasanya sajak
sempurna, tetapi banyak juga gurindam yang bersajak paruh, gurindam terdiri
dari dua kalimat tunggal yang membentuk kalimat majemuk. Baris (kalimat) yang
pertama merupakan sebab atau alasan dan baris
kedua ialah akibat.
Contoh:
. Cahari
olehmu akan sahabat
Yang
dapat dijadikan obat
Cahari
olehmu akan guru
Yang
mampu memberi ilmu
Cahari
olehmu akan kawan
Yang
berbudi serta berkawan
Cahari
olehmu akan abadi
Yang
terampil serta berbudi
2. Prosa Lama
Prosa
lama adalah karya sastra daerah yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau
kebudayaan barat. Dalam hubungannya dengan kesusastraan Indonesia maka objek
pembicaraan sastra lama ialah sastra prosa daerah Melayu yang mendapat pengaruh
barat. Hal ini disebabkan oleh hubungannya yang sangat erat dengan sastra
Indonesia. Karya sastra prosa lama yang mula-mula timbul disampaikan
secara lisan. Disebabkan karena belum dikenalnya bentuk tulisan. Dikenal bentuk
tulisan setelah agama dan kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat
Melayu mengenal tulisan. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak
itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sejarah sastra Indonesia
mulai ada.
Adapun bentuk-bentuk sastra prosa
lama adalah:
a. Mite adalah dongeng yang
banyak mengandung unsur-unsur ajaib dan ditokohi oleh dewa, roh halus, atau
peri. Contoh Nyi Roro Kidul
b. Legenda adalah dongeng yang
dihubungkan dengan terjadinya suatu tempat. Contoh: Sangkuriang, Si Malin
Kundang
c. Fabel adalah dongeng yang
pelaku utamanya adalah binatang. Contoh: Kancil
d. Hikayat adalah suatu bentuk
prosa lama yang ceritanya berisi kehidupan raja-raja dan sekitarnya serta
kehidupan para dewa. Contoh: Hikayat Hang Tuah.
e. Dongeng adalah suatu cerita
yang bersifat khayal. Contoh: Cerita Pak Belalang.
f. Cerita berbingkai adalah
cerita yang di dalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh
pelaku-pelakunya. Contoh: Seribu Satu Malam
B. Penerapan Teori Filologi Pada Karya Sastra
Lama
Kegiatan filologi di Indonesia dimulai
dari pertengahan abad ke-19 oleh sarjana-sarjana Eropa terutama Belanda. Naskah
di Indonesia kebanyakan tertulis dalam bahasa dan huruf daerah. Pendekatan
terhadap naskah-naskah itu pada mulanya masih intuitif, memakai metode
landasan, dengan mengambil satu naskah yang dianggap sebagai dasar terbitan,
kemudian bila dipandang perlu barulah diusut menurut intuisi penyunting atau
disesuaikan dengan naskah lain. Berikut ini beberapa penerapan metode filologi
pada beberapa suntingan naskah yang kemudian menurut urutan tahun
penerbitannya.
1.
Adat Aceh (Drewes dan Voorhoeve, 1958)
Pada
suntingan naskah Adat Aceh digdnakan metode diplomatik. Dibuat faksimile dari
naskah dalam India Office Library disertai pengantar dan catatan oleh Drewes
dan Voorhoeve mengenai asal naskah, deskripsinya, dan metode reproduksi di
samping itu, ukurannya dikecilkan dari dua halaman yang berhadapan pada teks
asli direproduksi pada satu halaman. Pada tempat-tempat yang tidak terang
karena perbaikan penyalin, kata menjadi tidak terang dalam reproduksi. Dalam
hal ini, diberikan transliterasi dengan huruf Latin dalam catatan.
2.
Nagarakrtagama the 14th Centuzy (Pigeaud, 1960)
Nagarakrtagama
disunting melalui metode diplomatik, disertai transliterasi, catata-catatan
mengenai teks dan terjemahan, komentar, dan glosari (daftar kata-kata).
3. Babad Buleleng (Worsley, 1972)
Edisi
Babad Buleleng menggunakan empat buah naskah yang disebut A, B, C, dan D, yang
masing-masing naskah dideskripsikan. Edisi ini didasarkan atas foto-foto, dan A
dibuat editor pada tahun 1971. Ada beberapa halaman yang fotonya tidak terbaca,
dipakai catatan catatan luas yang dibuat editor. Dalam keadaan terpaksa,
dirujuk naskah lain. Naskah D adalah naskah yang ditulis dengan huruf Latin.
Dalam hal tertentu, naskah itu tetap menyimpang dari bacaan yang terdapat dalam
ketiga naskah lainnya. Pemenggalan kata tidak dapat dipercaya, dan fungtuasinya
meskipun jelas menunjukka persamaan dengan fungtuasi dalam A, B, dan C, dan
tidak disalin secara ajeg. Mengenai ciri-ciri ini, naskah D dipandang sebagai
saksi yang tidak dapat dipercaya. Lagi pula naskah D tidak lengkap (Baried,
1985: 77).
4. Arjunawiwaha
(Supomo, 1977)
Jumlah naskah Arjunawiwaha lebih dari
dua puluh buah, yang berasal dan Jawa, Bali, dan Lombok. Setelah diadakan
kolasi, maka dipilih sepuluh buah naskah untuk keperluén aparat kritik guna penyuntingan
kriterium untuk seleksi aduan autentisitas naskah, kelengkapan naskah, kondisi
ejaan dan bacaan, perwakilan dan dua tradisi naskah, yaitu tradisi Bali dan Jawa.
Perbandingan atas dasar kriterium itu menghasilkan sebuah stema (Baried, 1985:
78).
Penelitian
mengenai asal usul teks serta sejarah perkembangannya berguna sekali, tetapi
belum cukup. Masih perlu diteliti lebih lanjut mengenai struktur versi-versi
yang menyimpang serta fungsi cerita-cerita tersebut dalam masyarakat Indonesia
masa itu, karena tiap-tiap karya sastra itu dilahirkan untuk memenuhi suatu
fungsi. F ungsi itu akan memenuhi strukturnya.
Melalui penelitian sejarah, naskah ditambah dengan aspek-aspek bahannya,
dengan harapan dapat diketahui lebih banyak mengenai lingkungan asal-usul
naskah-naskah tersebut. Data untuk keperluan ini pertama-tama dikumpulkan dari
keterangan eksplisit dalam naskah itu sendiri. Berikutnya, dimulai dengan apa
yang dapat berkembang menjadi cabang kodikologi, karena tujuan utama
penelitiannya ialah menemukan pendekatan fllologis yang menempatkan bahan
naskah pada tempatnya yang lebih tepat daripada dengan metode yang sampai
sekarang digunakan. Dalam penelitian sejarah naskah, dilakukan pula penafsiran
data paleografi dan analisis ejaan. Data pelengkap diperoleh dari sumber di
luar naskah, selama dibenarkan oleh bagian pertama penelitian.
C. Penyebab Karya Sastra Lama Kurang
Diminati dan Upaya Melestarikannya
Karya sastra lama pada zaman ini kurang
diminati. Adapun faktor penyebab karya sastra tersebut kurang diminati, yaitu:
1. Faktor Bahasa
Sastra
lama, tentu saja sebelum ditransliterasikan, mengandung bahasa daerah atau
Melayu yang sulit dipahami. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Yus Rusyana
sebagai berikut. Terdapat masalah dalam hal pengenalan dan penghargaan terhadap
karya-karya sastra tersebut. Karya-karya itu kurang diapresiasi oleh
masyarakat, bahkan oleh masyarakat daerahnya. Karya-karya itu menggunakan
bahasa lama, yang berasal dari masa lalu, sehingga menimbulkan kesulitan dalam
memahaminya. Lebih-lebih, karena kebanyakan karya itu dalam bahasa daerah
masing-masing dan belum banyak yang diterjemahkan dan diperkenalkan dengan
bahasa Indonesia, maka orang yang berminat tidak memahami bahasa tersebut,
mendapat kesulitan untuk membacanya. Karena itu, walaupun karya tersebut
bermutu, tidak menjadi rujukan masyarakat sebagai tolok ukur bagi nilai-nilai
yang dijunjung (Rusyana,1999:3)
2. Sulit Ditemukannya Naskah
Sastra Lama
Faktor
lain yang menghambat pengenalan sastra lama karena naskah sastra lama sulit
ditemukan. Naskah itu hanya dimiliki oleh tempat-tempat tertentu, misalnya
Museum Naskah Nasional, museum-museum lain yang bersifat pribadi atau museum
yang terdapat di luar negeri. Karya yang sudah ditransliterasikan dalam bentuk
buku pun terlalu padat tulisan dan tidak menarik. Tentu, kalah saing dengan
buku-buku zaman sekarang yang didesain lebih menarik.
3. Karya
Sastra lebih terikat dengan sesuatu yang bersifat keisatanaan, jika
dibandingkan dengan karya sastra baru yang lebih dominan mengulas masalah
percintaan. Oleh sebab itu, karya sastra baru lebih banyak diminati dbanding
karya sastra lama.
Faktor-faktor tersebut membuat karya
sastra lama mengalami pergerusan. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk melestarikan
khazanah karya sastra lama, yaitu:
1. Upaya pemberdayaan
naskah-naskah lama milik bangsa menjadi bahan bacaan yang mudah dipahami
anak-anak perlu dilakukan agar kecintaan anak-anak terhadap karya sastra lama
bertambah. Naskah-naskah yang tertumpuk di perpustakaan tanpa tersentuh
pembaca, sudah saatnya ditransformasikan menjadi bentuk baru tanpa meninggalkan
khasanah nilai-nilai pada bentuk lamanya. Naskah-naskah itu dapat dijadikan
sumber inspirasi pengembangan cerita modern.
2. Upaya
untuk mengbah tampilan karya sastra lama menjadi suatu karya yang lebih
menarik, misanya membuat kumpulan buku mengenai karya sastra lama seingga lebih
banyak untuk diminati.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
sastra lama atau biasa disebut pula
sebagai sastra klasik atau sastra tradisional adalah karya sastra yang tercipta
dan berkembang sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke dalam sastra itu. Kesusastraan lama adalah karya
sastra yang lahir dalam masyarakat lama, yaitu suatu masyarakat yang masih
memegang adat istiadat yang berlaku di daerahnya. Karya sastra lama biasanya
bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat istiadat, serta ajaran-ajaran agama.
Ciri-ciri karya sastra lama yaitu terikat oleh kebiasaan dan
adat masyarakat, bersifat istana sentris, bentuknya baku,
biasanya nama pengarangnya tidak disertakan (anonim). Jenis karya sastra
lama terbagi menjadi dua, yaitu puisi lama dan prosa lama
Melalui penelitian sejarah, naskah
ditambah dengan aspek-aspek bahannya, dengan harapan dapat diketahui lebih
banyak mengenai lingkungan asal-usul naskah-naskah tersebut. Data untuk
keperluan ini pertama-tama dikumpulkan dari keterangan eksplisit dalam naskah
itu sendiri. Berikutnya, dimulai dengan apa yang dapat berkembang menjadi
cabang kodikologi, karena tujuan utama penelitiannya ialah menemukan pendekatan
fllologis yang menempatkan bahan naskah pada tempatnya yang lebih tepat
daripada dengan metode yang sampai sekarang digunakan. Dalam penelitian sejarah
naskah, dilakukan pula penafsiran data paleografi dan analisis ejaan. Data
pelengkap diperoleh dari sumber di luar naskah, selama dibenarkan oleh bagian
pertama penelitian.
Faktor
yang mempengaruhi kurang diminatinya sastra lama yaitu faktor bahasa, sulit
ditemukannya naskah sastra lama, karya Sastra lebih terikat dengan sesuatu yang
bersifat keisatanaan. Adapun upaya untuk melestarikan khazanah karya sastra
lama, yaitu pemberdayaan naskah-naskah lama milik bangsa menjadi bahan bacaan
yang mudah dipahami anak-anak perlu dilakukan agar kecintaan anak-anak terhadap
karya sastra lama bertambah dan mengubah
tampilan karya sastra lama menjadi suatu karya yang lebih menarik.
DAFTAR
PUSTAKA
Wua, Haris. 2015.
Bentuk
Dan Makna Tuturan Kabhanti Manari Pada
Masyarakat Muna. Jurnal
Humanika No. 15, Vol. 3, Desember 2015 / ISSN 1979-8296
Komentar
Posting Komentar