Di Bawah Guyuran Hujan
Karya Septa Mila Sari
Rintik hujan mengetuk atap rumah perlahan-lahan. Semenit kemudian atap rumah diketuk dengan dahsyat, pertanda hujan semakin deras. Menciptakan rasa malas untuk sekolah.
Arif memarkirkan motornya di halaman rumah, membiarkan kuda besinya basah diguyur hujan. Ia merapatkan jaket kulitnya, badannya yang semampai basah sebab diguyur hujan. Wajahnya sedikit pucat, mungkin efek kedinginan. Arif mengetuk sebuah rumah berwarna pink, sepertinya rumah seorang wanita.
Arif cukup terkejut untuk beberapa detik. Seseorang yang sangat dikenalnya membukakan pintu, seorang sahabatnya.
"Ari?" ucap Arif spontan.
"Eh bro, masuk deh. Mila di dalam"
-------------------
Hujan telah usai. Di sinilah Arif sekarang, duduk menyendiri di taman sekolah. Taman ini adalah taman kesukaannya, taman tempat ia mencurahkan segala keluhnya melalui rangkaian aksara yang membentuk sebuah puisi. Taman yang menjadi saksi Arif mencintai seorang gadis, yang diduga kini menjadi kekasih sahabatnya.
Arif merobek kertas lalu menggoreskan tinta dengan mahir di atasnya. Sejenak ia merasakan sakit dihati ketika puisinya telah usai ditulis. Ia tersenyum kecut lalu beranjak meninggalkan taman.
Hujan Kembali menyapa
Ciptakan retisalya berbalut tawa
Hujan pagi ini bawa berita duka
Untuk hatiku yang tulus mencintainya
Bersabarlah hati,
Ku tahu kau tulus mencintai
Bersabarlah hati
Jika ia bahagia, maka kau harus pergi
Seorang gadis keluar dari persembunyiannya. Ia mengambil kertas puisi Arif.
"Siapa yang kau cintai, Rif".
-------------------
"Bang, Arif kok aneh ya belakangan ini"
"Aneh gimana?"
"Iya aneh, gak biasanya. Dia suka ngalamun, wajahnya pucat"
"Mungkin Arif lagi datang bulan hehehe"
"Bang Ari!"
"Iya iyaa, nanti Abang tanyain deh. Serahkan pada sepupu gantengmu ini"
---------------------
"Arif kok gak sekolah ya seminggu ini, ahh rindu juga celotehannya. Kamu kemana sih, Rif"
Arif Setiawan, ia adalah sahabatku dari SMP sekaligus laki-laki yang berhasil menempati ruang khusus di hatiku.
Dengan iseng ku raba laci mejanya, tanganku menemukan secarik kertas.
Seketika aku merasa hancur
Melebur bersama asam yang ku cecap
Cinta ini enggan terkubur
Masih setia dengan mantap
"Puisi lagi, rupanya kau sedang mencintai seseorang. Ahhh andai kau tahu perasaanku, Rif"
Brukk
Aku mendengar sebuah suara dari luar kelas, seperti suara buku yang jatuh. Ku sampirkan tasku, tak lupa ku ambil puisi yang Arif ciptakan. Aku bergegas menuju sumber suara, tak ku temukan seseorang, hanya ada sebuah buku kecil berwarna hitam yang tergeletak di lantai.
------------
Ku buka Lembar demi lembar, hanya puisi tema kesedihan yang ku dapatkan. Mataku membulat ketika lembar terakhir ku buka. Lukisan diriku tergambar di sana, bersama bait puisi di bawahnya.
Semestinya aku legah
Kau bersama sahabatku yang gagah
Semestinya aku tenang untuk pergi
Sebab kau telah bersama orang yang kau cintai
Semestinya aku berterima kasih pada hujan pagi itu
Sebab aku mampu melihatmu tertawa
Meski bukan aku
Yang menjadi alasan tawa itu
Usiaku akan usai
Namun cinta ini tak akan selesai
Aku pergi dengan damai
Selamat tinggal kekasih di zona mimpi
Aku mencintaimu Mila Prawingga Lestari
Air mataku deras mengalir membaca puisi itu, menyaingi derasnya hujan di luar rumah. Tak ku sangka Arif memiliki rasa yang sama.
Usiaku akan usai? Aku tersentak ketika mengartikan larik puisi itu. Ku ambil jaketku, berlari menembus hujan. Tujuanku hanya satu, rumah Arif.
Drrttt drttt drrttt
Ponselku bergetar, aku berhenti di halte bus untuk mengangkat telpon. Nama Ari tertera.
"Halo Bang, ada apa?"
"Mila, Mil. Arif, A.. rif"
"Arif kenapa Bang. Arif kenapa?"
"Arif meninggal, Mil. Arif menderita Leukemia"
"Gak mungkin Bang, tadi Arif ke sekolah Bang. Gak mungkin, gak mungkinnnnn. Abang bohong!"
Ku matikan handphoneku, pikiranku kacau. Aku berlari menyeberangi jalan raya, hingga kakiku terasa lemas. Lalu ku lihat ada sinar kuning menyinari tubuhku. Ku tolehkan kepalaku ke kanan dan seketika tubuhku terpental beberapa meter. Darah mengucur dari pelipisku, buku puisi Arif tergeletak tak jauh dariku. Merangkak menggapainya, sakit tak ku hiraukan. Aku memeluknya sembari membaringkan tubuhku menatap langit, menantang hujan yang menghanyutkan darahku. Ku lihat Arif berpakaian putih, ia melambai sembari tersenyum manis.
"Arif, masih sama seperti lima tahun lalu. Di bawah guyuran hujan aku mulai mencintaimu dan di bawah guyuran hujan pula cintaku berakhir, berlabuh tetap pada namamu"
-The End-
Pedang, 22 September 2018
Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau.
Karya Septa Mila Sari
Rintik hujan mengetuk atap rumah perlahan-lahan. Semenit kemudian atap rumah diketuk dengan dahsyat, pertanda hujan semakin deras. Menciptakan rasa malas untuk sekolah.
Arif memarkirkan motornya di halaman rumah, membiarkan kuda besinya basah diguyur hujan. Ia merapatkan jaket kulitnya, badannya yang semampai basah sebab diguyur hujan. Wajahnya sedikit pucat, mungkin efek kedinginan. Arif mengetuk sebuah rumah berwarna pink, sepertinya rumah seorang wanita.
Arif cukup terkejut untuk beberapa detik. Seseorang yang sangat dikenalnya membukakan pintu, seorang sahabatnya.
"Ari?" ucap Arif spontan.
"Eh bro, masuk deh. Mila di dalam"
-------------------
Hujan telah usai. Di sinilah Arif sekarang, duduk menyendiri di taman sekolah. Taman ini adalah taman kesukaannya, taman tempat ia mencurahkan segala keluhnya melalui rangkaian aksara yang membentuk sebuah puisi. Taman yang menjadi saksi Arif mencintai seorang gadis, yang diduga kini menjadi kekasih sahabatnya.
Arif merobek kertas lalu menggoreskan tinta dengan mahir di atasnya. Sejenak ia merasakan sakit dihati ketika puisinya telah usai ditulis. Ia tersenyum kecut lalu beranjak meninggalkan taman.
Hujan Kembali menyapa
Ciptakan retisalya berbalut tawa
Hujan pagi ini bawa berita duka
Untuk hatiku yang tulus mencintainya
Bersabarlah hati,
Ku tahu kau tulus mencintai
Bersabarlah hati
Jika ia bahagia, maka kau harus pergi
Seorang gadis keluar dari persembunyiannya. Ia mengambil kertas puisi Arif.
"Siapa yang kau cintai, Rif".
-------------------
"Bang, Arif kok aneh ya belakangan ini"
"Aneh gimana?"
"Iya aneh, gak biasanya. Dia suka ngalamun, wajahnya pucat"
"Mungkin Arif lagi datang bulan hehehe"
"Bang Ari!"
"Iya iyaa, nanti Abang tanyain deh. Serahkan pada sepupu gantengmu ini"
---------------------
"Arif kok gak sekolah ya seminggu ini, ahh rindu juga celotehannya. Kamu kemana sih, Rif"
Arif Setiawan, ia adalah sahabatku dari SMP sekaligus laki-laki yang berhasil menempati ruang khusus di hatiku.
Dengan iseng ku raba laci mejanya, tanganku menemukan secarik kertas.
Seketika aku merasa hancur
Melebur bersama asam yang ku cecap
Cinta ini enggan terkubur
Masih setia dengan mantap
"Puisi lagi, rupanya kau sedang mencintai seseorang. Ahhh andai kau tahu perasaanku, Rif"
Brukk
Aku mendengar sebuah suara dari luar kelas, seperti suara buku yang jatuh. Ku sampirkan tasku, tak lupa ku ambil puisi yang Arif ciptakan. Aku bergegas menuju sumber suara, tak ku temukan seseorang, hanya ada sebuah buku kecil berwarna hitam yang tergeletak di lantai.
------------
Ku buka Lembar demi lembar, hanya puisi tema kesedihan yang ku dapatkan. Mataku membulat ketika lembar terakhir ku buka. Lukisan diriku tergambar di sana, bersama bait puisi di bawahnya.
Semestinya aku legah
Kau bersama sahabatku yang gagah
Semestinya aku tenang untuk pergi
Sebab kau telah bersama orang yang kau cintai
Semestinya aku berterima kasih pada hujan pagi itu
Sebab aku mampu melihatmu tertawa
Meski bukan aku
Yang menjadi alasan tawa itu
Usiaku akan usai
Namun cinta ini tak akan selesai
Aku pergi dengan damai
Selamat tinggal kekasih di zona mimpi
Aku mencintaimu Mila Prawingga Lestari
Air mataku deras mengalir membaca puisi itu, menyaingi derasnya hujan di luar rumah. Tak ku sangka Arif memiliki rasa yang sama.
Usiaku akan usai? Aku tersentak ketika mengartikan larik puisi itu. Ku ambil jaketku, berlari menembus hujan. Tujuanku hanya satu, rumah Arif.
Drrttt drttt drrttt
Ponselku bergetar, aku berhenti di halte bus untuk mengangkat telpon. Nama Ari tertera.
"Halo Bang, ada apa?"
"Mila, Mil. Arif, A.. rif"
"Arif kenapa Bang. Arif kenapa?"
"Arif meninggal, Mil. Arif menderita Leukemia"
"Gak mungkin Bang, tadi Arif ke sekolah Bang. Gak mungkin, gak mungkinnnnn. Abang bohong!"
Ku matikan handphoneku, pikiranku kacau. Aku berlari menyeberangi jalan raya, hingga kakiku terasa lemas. Lalu ku lihat ada sinar kuning menyinari tubuhku. Ku tolehkan kepalaku ke kanan dan seketika tubuhku terpental beberapa meter. Darah mengucur dari pelipisku, buku puisi Arif tergeletak tak jauh dariku. Merangkak menggapainya, sakit tak ku hiraukan. Aku memeluknya sembari membaringkan tubuhku menatap langit, menantang hujan yang menghanyutkan darahku. Ku lihat Arif berpakaian putih, ia melambai sembari tersenyum manis.
"Arif, masih sama seperti lima tahun lalu. Di bawah guyuran hujan aku mulai mencintaimu dan di bawah guyuran hujan pula cintaku berakhir, berlabuh tetap pada namamu"
-The End-
Pedang, 22 September 2018
Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau.
Komentar
Posting Komentar