SERIBU DELAPAN RATUS HARI
Karya
Septa Mila Sari
Awan
putih mulai menghitam, angkasa yang biru merubah ronanya menjadi kelabu.
Nampaknya sebentar lagi istana sederhanaku akan kedatangan tamu yang biasanya mampir ketika hujan turun. Segera kuamankan
barang-barang yang berserakan di lantai, kuletakkan beberapa baskom yang lumayan besar di beberapa
titik rumah, termasuk di bagian kiri kasur kecil yang menjadi tempatku
melepaskan penat. Biasanya ketika hujan mengguyur bumi, aku selalu berharap ada
orang baik yang meletakkan bakso, model ikan ataupun makanan berkuah di depan pintu kontrakanku, sehingga aku dapat
merasakan hangat meskipun udara yang menusuk kulitku begitu dingin. Namun kali
ini harapanku tidak muluk-muluk, kali ini aku hanya berharap untuk dapat tidur nyenyak
dan terbangun dengan keadaan yang tidak basah kuyup seperti beberapa hari yang
lalu.
Namaku
Sari, lengkapnya Intania Putri Sari. Usiaku saat ini hampir menginjak kepala
dua, tepatnya 19 tahun dua bulan dua puluh tiga hari. Sekarang aku sedang
memperjuangkan masa depanku melalui pendidikan di salah satu fakultas
kedokteran yang ada di Kota Bandung. Aku lahir di sebuah desa yang bertengger
di ketinggian 2.150 meter di atas permukaan laut, desa Ngadas namanya. Sebuah
desa yang merupakan desa tertinggi di pulau Jawa dengan panorama alamnya yang
begitu memanjakan netra, sebuah desa yang diapit oleh ngarai di lereng Gunung
Bromo, Jawa Timur. Di desaku, dapat ditemukan kabut yang melayang dengan begitu
anggunnya, keindahan angkasa seolah-oleh terpahat jelas dari desaku, hal itu
menjadikan desaku bak mengapung di antara awan.
Aku
adalah seorang anak rantau yang tak pernah berhenti bermimpi, sebab bagiku
semua orang berhak dan wajib bermimpi dalam hidupnya. Entah itu bermimpi
menjadi dokter selayaknya mimpiku, bermimpi menjadi penyanyi terkenal, bermimpi
menjadi dosen di luar negeri, bermimpi menjadi saudagar kaya raya, bermimpi
menjadi penulis, ataupun bermimpi menjadi presiden, semua orang berhak. Guruku
semasa SMA sering mengatakan padaku agar bermimpilah setinggi mungkin selagi
mimpimu masih kalah tinggi oleh tingginya langit. Kalimat sederhana namun penuh
arti itu menjadi penyemangat untukku menggapai mimpi menjadi seorang dokter,
tak perduli apa yang orang katakan tentang mimpiku, sebab yang aku tahu ini
adalah hidupku, ini adalah mimpiku, dan mimpiku akan kupersembahkan untuk
saudara-saudara setanah airku yang berasal dari golongan kurang mampu sepertiku.
Meski
banyak yang mengatakan bahwa wajahku sama sekali tidak terlihat wajah-wajah
orang yang akan menjadi seorang dokter atau mengatakan bahwa otakku tak
akan mampu menampung pelajaran tentang
kedokteran sebab dokter bagi mereka adalah orang-orang yang cerdas dan dianggap
sebagai kaki tangan Tuhan dalam penyembuhan. Bagi mereka, aku tak layak
menyandang gelar itu. Tapi tidak bagiku, aku yang keras kepala dan dilengkapi
dengan perangai yang tak ingin diremehkan menjadikanku terdampar di sini,
sebuah rumah kontrakan sederhana yang menjadi saksi perjuanganku menggapai
mimpi sekaligus membungkam mulut-mulut yang sempat meremehkanku seribu delapan
ratus hari yang lalu. Rumah kontrakan yang merekam segala hal tentangku selama
menjadi mahasiswa dan buruh cuci untuk menyambung nyawaku di tanah rantau ini.
Tetesan-tetesan
banyu penuh berkah mulai berjatuhan,
tanah yang kering perlahan-lahan menjadi basah, udara yang dingin terasa menusuk
tubuhku yang mungil. Jalan setapak di samping kamarku begitu sepi, memberikan
kedamaian dalam hatiku. Ku ulurkan tangan melewati jendela kayu, kurapatkan
sepuluh jariku di bawah derasnya hujan agar dapat menangkapnya, padahal aku tahu bahwa air itu akan
tetap mengalir ke bumi melalui sela-sela jariku. Sejumput memori yang terjadi dua
pekan sebelum seribu delapan ratus hari yang lalu berkelebat dalam pikiranku.
Sejumput memori tentang pertengkaran hebat antara aku, Ibuku dan Ayahku.
Pertengkaran yang bermula dari penyampaian keinginanku melanjutkan pendidikan
ke jenjang perguruan tinggi yang ditentang keras oleh ibuku. Ibu menginginkanku
menjadi pedagang makanan seperti yang digelutinya saat ini di desaku, mengingat
desaku menjadi salah satu tempat wisata di Jawa Timur.
Hinaan
tetangga akan mimpiku yang dianggap terlalu tinggi mampu menanamkan rasa enggan
untuknya membiarkanku ke Bandung. Ditambah dengan kondisi ekonomi yang hanya
berada pada angka pas-pasan membuat Ibu seakan mendapatkan alasan yang tepat
agar aku tetap di desa dan melupakan mimpiku menjadi seorang dokter. Aku sempat
menyerah akan cita-citaku ketika melihat raut wajah tuanya yang meneteskan air
mata ketika mendengar hinaan dari tetanggaku. Namun, ayah melarangku untuk
mengikuti keinginan ibu yang berarti bahwa aku menyerah untuk menggapai mimpiku
dan mengaku kalah akan keadaan. Ayah ingin aku dapat hidup lebih baik, tidak
menjadi sepertinya yang hidup susah di masa tua. Ayah ingin aku melanjutkan
pendidikanku ke jenjang lebih tinggi agar menjadi wanita terhormat,
berpendidikan, dan mampu mengangkat martabat keluargaku.
Aku
sangat bingung saat melihat kedua orangtuaku bertengkar setiap hari karena
keinginanku. Kebimbangan melanda, di satu sisi aku tak hendak berada jauh dari
ayah dan ibu namun di sisi lain aku harus memperjuangkan mimpiku. Hal itu
membuatku membulatkan tekad untuk kabur dari rumahku sebab tak sanggup untuk
berpamitan, aku takut tekadku runtuh ketika nanti berhadapan dengan ibu. Saat
itu jam menunjukkan pukul 23.20, mendekati tengah malam. Bermodalkan tekad dan
pakaian secukupnya di ransel, kubuka pintu rumah perlahan-lahan.
“Kamu mau kemana ndok?”
Suara yang tak asing terdengar di telingaku, suara serak
khas ayahku menghentikan kegiatanku membuka pintu. Ku harap tak ada ibu di
samping ayah.
“Pak, Sari izin ke
Bandung yo. Bapak sama Ibu jaga diri baik-baik yo”
“Bapak izinkan, belajar
yang rajin yo ndok, jangan buat malu Bapak karo Ibumu. Jangan pulang sebelum
jadi dokter yo, ndak usah pikiri Bapak karo Ibu, insha allah kami iso jaga
diri. Jaga kesehatan, ojo lali sholat, mangan ojo telat yo ndok”
“Iyo Pak. Bapak ojo
telat mangan ne yo, Sari pamit. Assalamualaikum”
“Waalaikumussalaam”
Suara dering handphone
menyelamatkanku dari kenangan masa lalu yang selalu berhasil membangkitkan rasa
rindu. Nampaknya hujan sudah puas membasahi bumi, namun tanganku masih terulur
ke luar jendela seperti tadi. Segera ku tarik tanganku dan ku keringkan dengan
rok abu-abu yang kukenakan, jari jempolku menari-nari di pipi kiri dan kananku,
menyesap buliran bening yang tanpa permisi menjelajahi pipi gembilku. Nama Riska
Sipit tertera di layar handphone, arghh
rupanya gadis asal Medan ini yang menyelamatkanku dari rindu.
“Assalamualaikum”
“Kesasar yuhuuuuu”
“ Jawab salam dulu”
“Eh iya, waalaikumussalaam kesasar yang suka nyasar di
pasar”
“ Rubah namaku siapin kambing”
“Huwaaa Opung, Saridon ngamuk”
“Sekali lagi ganti namaku, siap-siap tanganmu terkena
jurus cubitan maut”
“Bahh sadis kali kau, gadis tua nanti kau ini”
“ Udah deh Medan, mau ngomong apa?”
“ Informasi penting lah ini, kau harus ucapkan selamat denganku
kalau dengar ini”
“To the point
atau auto matiin telepon”
“Gadis tua kau baru rasa”
“1..2..”
“ Oke fine,
tadi aku dapat kabar kalau wisudaku dipercepat”
“Hah? Serius?”
“ Lah iya, wisudaku jadi akhir bulan ini. Bayangkan,
namaku nanti akan menjadi Riska Dwi Putri, SP.PD. Bahagia ya Allah, bahagia
banget”
“Alhamdulillah ya, akhirnya mimpimu sebentar lagi
terwujud”
“Iyaa kesasar. Congrates juga ya atas wisudanya tadi,
selamat menyandang gelar baru. Yuhu udah dulu ya, mau ngabarin orang tua ni. See you bye bye”
Sudut mataku menangkap potret, rupaku yang sedang
mengenakan toga, jubah kebesaran, dilengkapi dengan selempang bertulis DENGAN
PUJIAN, seketika rindu melanda. Kubuka
buku diary berwarna merah jambu milikku, terpasang dengan rapi potret kedua
orangtuaku di lembar pertama. Kuelus dan kudekap diary itu, seolah-oleh diary
itu adalah kedua orangtuaku. Rasanya ingin sekali ku kabarkan berita bahagia
ini kepada bapak di desa, namun aku telah berjanji tak akan pulang ataupun
menghubungi bapak dan ibu sebelum ku gapai mimpiku. Sepertinya ini adalah waktu
yang tepat untukku kembali ke kampung halaman. Tetesan air mata basahi lembar
demi lembar halaman diary, perlahan ku goreskan tinta hitam di lembar yang
masih suci. Ku curahkan perasaanku melalui puisi dengan diksi-diksi sederhana.
SERIBU
DELAPAN RATUS HARI
-Intania
Putri Sari-
Ingin ku dekap bayangmu yang melambai
Namun
jemariku terlalu pendek tuk menggapai
Kelebat desiran angin di
kaki gunung
Menuntunku tuk setia
merenung
Melalui rintik-rintik hujan
Ku titip doa untuk
malaikat di kampung halaman
Sekalian kabar bahagia
dibalik pahitnya kenangan
Yang mungkin telah mengakar
dalam ingatan
Seribu delapan ratus
hari
Ku tahan rindu yang
begitu menggemuruh
Seribu delapan ratus
hari
Ku lewati dengan
nyanyian-nyanyian pilu
Seribu delapan ratus
hari
Aku bak tualang yang kehilangan
kompas
Seribu delapan ratus
hari
Bayang wajahmu tak
hendak lepas
Seribu delapan ratus
hari
Derajat mulia mulai
tersematkan
Tanpa ada kalimat
selamat
Tanpa ada sosok malaikat
Bandung,
07 Desember 1999
Seribu
delapan ratus hari telah kulalui, beragam nada-nada pedih anak rantau telah
terhafalkan. Intania Putri Sari, SP.PD. menjadi namaku mulai hari ini. Namun
aku tetaplah anak ibu yang akan kembali ke pangkuan ibu dan aku tetaplah sosok
Sari yang sederhana dan berasal dari desa dan akan mengabdikan diri ke desa,
sebab itu adalah mimpiku. Mimpi seorang anak pedesaan yang dianggap tak layak
menjadi seorang dokter. Mimpi seorang anak pedagang yang dianggap terlalu
tinggi. Namun satu hal yang pasti, bermimpi adalah hak untuk siapa saja sebab
mimpi adalah kunci untuk meraih kebahagiaan bersama orang-orang yang kita
sayangi.
Pedang,
07 Desember 2018
Komentar
Posting Komentar