Langsung ke konten utama

Karya Ilmiah Tema Kesetaraan Gender



STKIPS.jpg



PEMBELAJARAN SASTRA BERPERSPEKTIF FEMINISME
SEBAGAI UPAYA PENYETARAAN GENDER
DALAM TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN



KARYA ILMIAH YANG DIAJUKAN UNTUK MENGIKUTI
PEMILIHAN MAHASISWA BERPRESTASI TINGKAT
NASIONAL


OLEH

SEPTA MILA SARI
NIM. 2017017


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI


STKIP-PGRI LUBUKLINGGAU
LUBUKLINGGAU
2019




PRAKATA


Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan nikmat dan karunia beserta rahmat-Nya lah karya tulis yang berjudul “Pembelajaran Sastra Berprespektif Femenisme sebagai upaya Penyetaraan Gender dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”. Karya tulis ilmiah ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti seleksi Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (PILMAPRES) yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Anggapan tentang lemahnya perempuan yang seolah-olah menjelma menjadi budaya yang mengalir dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun, dewasa ini telah ada sastra feminisme yang diartikan membaca atau memandang sesuatu sebagai perempuan. Dalam sastra feminisme ini, lebih ditekankan adanya kesetaraan gender, persamaan hak, dan persamaan kesempatan bagi perempuan dalam hubungannya dengan kehidupan sosial. Adapun sektor pendidikan merupakan sektor yang strategis bagi karya sastra dalam menanamkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender sejak dini. Karya sastra dianggap sebagai salah satu media yang tepat untuk menuangkan tuntutan, ide, aspirasi kaum perempuan dan semangat kesetaraan gender melalui jalur formal. Melalui jalur pendidikan, diharapkan karya sastra dapat membentuk pola pikir yang modern bagi generasi muda dan mampu menanggalkan sugesti tentang perempuan di mana perempuan dalam hal ini adalah makhluk yang lemah.

Penulisan karya tulis ilmiah ini tidak mungkin diselesaikan tanpa dukungan dan motivasi dari semua pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dalam bentuk ungkapan terima kasih kepada:

1.    Ketua STKIP-PGRI Lubuklinggau dan Wakil Ketua STKIP-PGRI Lubuklinggau atas dukungannya dalam kegiatan PILMAPRES ini.
2.    Harmoko, M.Pd. selaku dosen pembimbing Karya Tulis Ilmiah yang senantiasa memberikan masukan dan saran mengenai penulisan karya tulis ilmiah.
3.    Dewi Syafitri, M.Pd. selaku dosen pembimbing Bidang Bahasa Inggris yang senantiasa memberikan tips dan trik untuk mahir dan berkomunikasi bahasa Inggris.
4.    Tim kemahasiswaan STKIP-PGRI Lubuklinggau yang telah membantu dalam melengkapi persyaratan PILMAPRES.
5.    Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam memberikan bantuan penyusunan karya tulis ini untuk mengikuti seleksi PILMAPRES tingkat wilayah.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menghaturkan permohonan maaf bilamana masih terdapatnya kekurangan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Penulis menyambut baik segala upaya untuk memperkuat penelitian ini baik berupa saran atau kritikan yang membangun, atas perhatiannya, penulis mengucapkan terimakasih.

Lubuklinggau, 15 Maret 2019
                                                                                               
                                                                                                                            Penulis

 

BAB I

PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang

Pembangunan adalah tonggak terpenting dalam pemerintahan suatu negara. Pembangunan berkelanjutan ditegaskan dalam KTT Bumi di Rio de Jenairo pada tahun 1992. Hal itu mengakibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa melahirkan Sustainable Development Goals (SDGs) yang bertujuan menyediakan kualitas hidup yang lebih baik untuk generasi saat ini maupun generasi yang akan datang. Sustainable Development Goals (SDGs) menggantikan Millenium Development Goals (MDGs) yang berakhir tahun 2015 sesudah pelaksanaan selama sepuluh tahun. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dalam agenda 2030 Pembangunan Berkelanjutan, SDGs merupakan kesepakatan pembangunan yang mendorong adanya perubahan-perubahan yang mengarah pada pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi. Sustainable Development Goals (SDGs) memiliki indikator pembangunan berkelanjutan yang terbagi menjadi 17 tujuan.  (Bappenas, 2019)

Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa pada tahun 2032, perempuan akan berjumlah lebih banyak daripada laki-laki, yaitu sebanyak 21 ribu, sehingga kesetaraan gender harus diupayakan (BPS, 2018). (Bappanes, 2019) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan bahwa kesetaraan gender adalah salah satu dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) dengan sasaran utamanya adalah mengakhiri segala bentuk pendiskriminasian terhadap kaum perempuan, menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan termasuk eksploitasi seksual ataupun perdagangan manusia, menjamin partisipasi penuh dan me njamin adanya kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin dalam bidang apapun, menghilangkan semua praktek berbahaya, seperti pernikahan dini ataupun pernikahan paksa, mengenali dan menghargai pekerjaan mengasuh dan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar melalui penyediaan pelayanan publik, infrastruktur dan kebijakan perlindungan sosial, menjamin akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi, melakukan reformasi untuk pemberian hak yang sama kepada perempuan terhadap sumber daya ekonomi, serta mengadopsi dan memperkuat kebijakan yang baik dan perundang-undangan yang berlaku untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan kaum perempuan di semua tingkatan.

Pada abad ke-20, kaum feminisme menggambarkan kaum wanita dalam karya sastra menjadi objek yang selalu teraniaya. Para pejuang kaum feminisme berupaya mengubah pola kehidupan sosial yang dirasa kurang adil. Gender jangan dianggap sebagai parameter yang lebih bersifat hakiki dan statis yang melemahkan komunitas perempuan (Heryadi, Dedi, 2007). Tujuan dari kesetaraan gender setiap orang memperoleh perlakuan yang sama dan adil dalam masyarakat, bukan saja pada bidang politik, lingkungan kerja, dan bidang terkait lainnya dengan kebijakan tertentu. Pada hakikatnya, kesetaraan gender memberikan kesempatan baik bagi perempuan ataupun laki-laki untuk secara setara/ sama/ sebanding menikmati hak-haknya sebagai manusia secara sosial, kesempatan, sumber daya, dan menikmati manfaat dari hasil pembangunan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Yohanna Yembise mengatakan bahwa pemerintah sangat concern terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja perempuan. Pemerintah telah berupaya dengan maksimal untuk meningkatkan kesetaraan gender dan keadilan bagi kaum perempuan, misalnya melalui organisasi masyarakat sipil yang bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, penempatan perempuan dalam parlemen dan berbagai pemangku kepentingan lainnya di tingkat pusat dan daerah. Tidak hanya pemerintah, masyarakat pun ikut andil dalam upaya mengaplikasikan sila kelima tersebut, terkhusus kaum perempuan yang merasa bahwa harus adanya kesetaraan gender dan keadilan bagi kaum perempuan (VOA, 2016)

Gerakan kaum wanita dalam usaha penyetaraan gender di berbagai lini aktifitas salah satunya munculnya gerakan kaum wanita melalui karya sastra. Karya sastra merupakan cerminan kehidupan sosial padalatar di mana karya sastra itu dilahirkan. Aplikasi dalam kehidupan bahwa persoalan gender bukanlah media untuk memilah kaum lemah dan kuat melainkan suau kodrati yang harus menjadi dasar hidup saling membutuhkan dan berperan secara proporsional. (Heryadi, Dedi, 2007) Karya sastra tak pernah lahir dari kekosongan budaya sebab karya sastra lahir dari kepekaan sastrawan terhadap kondisi sosial budaya masyarakat di mana sastrawan itu tinggal. Banyak sastrawan mengangkat tema kesetaraan gender dalam tulisannya sehingga sastra sesungguhnya turut andil dalam menkonstruk gerakan penyetaraan gender.

 Dalam sastra feminisme ini, lebih ditekankan adanya kesetaraan gender, persamaan hak, dan persamaan kesempatan bagi perempuan dalam hubungannya dengan kehidupan sosial. Adapun sektor pendidikan merupakan sektor yang strategis bagi karya sastra dalam menanamkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender sejak dini. Karya sastra berbasis gender dalam pendidikan dirasa begitu penting. Hal ini dikarenakan  karya sastra dianggap sebagai salah satu media yang tepat untuk menuangkan tuntutan, ide, aspirasi kaum perempuan dan semangat kesetaraan gender melalui jalur formal. Dengan metode bercerita yang dilengkapi kaidah etika dan estetika, upaya penyetaraan gender dapat dilakukan tanpa adanya kesan menggurui. Melalui karya sastra berbasis gender dalam jalur pendidikan, diharapkan karya sastra dapat membentuk pola pikir yang modern bagi generasi muda dan mampu mensugestikan tentang perempuan di mana perempuan dalam hal ini adalah makhluk yang mulia, sekalipun perempuan tersebut hanya seorang ibu rumah tangga.

Keadilan gender tidaklah diartikan secara sempit adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan pada berbagai bidang. Perbedaan secara biologis memang sangat kentara dan menimbulkan perbedaan peran tertentu yang secara sosial telah dibakukan. Persamaan perolehan pendidikan dari semangat emansipasi telah menjadikan kondisi sosial mengalami perubahan. Pendidikan dan kesempatan yang diberikan pada kaum perempuan akan membawa pencerahan pada pemikiran individu yang pada akhirnya akan mencapai pembangunan berkelanjutan. (Abidin, Bunga Febrianti, 2018) Berdasarkan data dan fakta yang telah dikemukakan maka penulis mengangkat karya tulis ilmiah dengan judul Pembelajaran Sastra Berspektif Feminisme sebagai Upaya Penyetaraan Gender dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana pentingnya kesetaraan gender?
2.    Bagaimana hubungan kesetaraan gender dan tujuan pembangunan berkelanjutan?
3.    Bagaimana upaya penyetaraan gender dalam pembelajaran sastra berspektif feminisme dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan?

1.3 Gagasan Kreatif


Permasalahan kesetaraan gender adalah hal yang sejak dulu diperbincangkan bahkan sampai saat ini. Berbagai upaya telah diupayakan oleh pemerintah agar kesetaraan gender dan keadilan terhadap kaum perempuan terjalin dan teraplikasi dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik di kehidupan masyarakat pedesaan ataupun perkotaan. Namun, hal yang luput dari perhatian pemerintah adalah karya sastra yang marak diperjuangkan kaum perempuan, yaitu karya sastra feminisme dengan pokok pembahasannya yaitu perempuan dengan segala kehidupannya.
Adapun gagasan yang ingin disampaikan oleh penulis adalah penerapan sastra feminisme dalam pembelajaran sastra di tingkat Sekolah Menengah Atas sebagai upaya penyetaraan gender yang menjadi salah satu sub pokok tujuan pembangunan berkelanjutan. Penulis berharap melalui karya sastra feminis yang dipilah dan diterapkan oleh pendidik ketika membuat bahan ajar mampu menanggalkan doktrin pemikiran yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai melalui jalur formal.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dalam penulisan karya tulis ini adalah mengedukasi pembaca bahwa karya sastra feminis adalah karya sastra yang menyuarakan segala ide, keinginan, dan aspirasi kaum wanita. Gender tidak hanya dilihat dari perbedaan jenis kelamin, tetapi kesetaraan gender juga dilihat dari perilaku, pemikiran, harapan, status serta peran dari masing-masing perempuan dan laki-laki, artinya dalam kehidupan sosial tidak hanya dilihat dari sisi biologisnya tetapi bagaimana seseorang itu berpikir, bertindak, dan berperasaan. Kesetaraan gender memiliki banyak sisi positif karena dapat menjadi sarana untuk mengembalikan hak serta kebebasan bagi perempuan dalam berpendapat dan beraktifitas.

1.5 Tujuan

Tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.      Menjelaskan bagaimana pentingnya kesetaraan gender.
2.      Menjelaskan bagaimana pembelajaran sastra berspektif feminisme.
3.      Menjelaskan bagaimana upaya penyetaraan gender dalam pembelajaran sastra berspektif feminis dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

1.6 Metode Studi Pustaka

Metode penulisan menggunakan metode studi pustaka (literature review). Bahan pustaka yang digunakan berupa buku elektronik dan bahan bacaan lain yang memuat nilai serta pengetahuan mengenai kesetaraan gender, baik pada pendidikan di Indonesia, bahan ajar dan penyetaraan gender dalam tujuan pembangunan berkelanjutan.

 


















BAB II

TELAAH PUSTAKA


2.1  Pembelajaran Sastra Berspektif Gender
Gender dibentuk dengan berdasarkan susunan kehidupan sosial yang tak dapat terlepas dari norma, budaya, dan nilai-nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat. Adapun masing-masing kelompok masyarakat memiliki susunan yang berbeda perihal laki-laki dan perempuan dari segi posisi sehingga dapat semakin berkembang, berubah dan dapat disesuaikan dengan peradaban yang sedang berlangsung. Hal-hal yang merupakan unsur-unsur gender yang dapat dimiliki oleh laki-laki dan perempuan adalah rasio, emosi, empati, akal dan budi, ataupun hal-hal yang tidak berkenaan dan tidak berdasarkan pada kodrat. (Susanti, Rini Dwi, 2015) Susunan sosial yang diakibatkan oleh missunderstanding menyebabkan  permasalahan unequal dan unbalance opportunity terhadap kaum perempuan.
Ensiklopedi Nasional Indonesia dalam (Susanti, Rini Dwi, 2015) menyatakan bahwa simpangan atau belokan arah dapat terjadi karena faktor-faktor yang ada pada diri pengamat itu sendiri, usaha untuk mencegahnya juga berdasarkan itu sendiri, dan usaha untuk mencegah terjadinya hal tersebut dapat dilakukan dengan adanya latihan-latihan pada mereka yang bertindak atau berbuat. Simpangan atau belokan arah ini dikenal dengan istilah bias. Bias itu sendiri bila dikaitkan dengan gender dalam pendidikan maka akan memberikan suatu pemahaman bahwaa dalam pendidikan terdapat ketimpangan atau penyimpangan terhadap kaum perempuan. Ketimpangan gender semacam itu akan menjadi tidak kondusif terhadap kepribadian siswa perempuan. Kaum perempuan terbiasa untuk selalu mengalah, bersifat tergantung terhadap kaum laki-laki dan pasif. (Susanti, Rini Dwi, 2015).
Bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran sastra terkadang mengandung unsur yang menjelaskan bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak harus setara dengan laki-laki, seperti ilustrasi dalam penggalan cerpen berikut ini “Matahari baru saja bangun, masih terdengar suara ngorok khas milik Ayah dari kamar sebelah, sementara di dapur terdengar suara perpaduan dua benda keras, seperti batu dan kemiri, mungkin Ibu sedang memecahkan buah kemiri gar dapat dijual akhir pekan ini, sekali-kali terdengar suara bambu berlobang yang ditiup, pertanda bahwa Ibu sedang menyalakan api, biasanya hendak memasak” pada mata pelajaran Bahasa Indonesia misalnya. Dari penggalan cerpen ini, seorang Ibu sudah harus memasak dan memecahkan buah kemiri ketika fajar baru saja menyingsing sementara sang suami masih tidur. Penggalan cerpen ini menjelaskan bahwa tidak adanya keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang turut berperan dalam menanamkan bias gender kepada peserta didik.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketidakadilan gender yang berhubungan dengan akses dalam proses pendidikan adalah partisipasi kaum perempuan dalam proses pengambilan keputusan pendidikan sangat rendah dikarenakan akses perempuan juga masih tergolong rendah dalam pemegang jabatan, laki-laki lebih mendominasi dalam mempengaruhi isi bahan ajar sehingga proses pembelajaran lebih mengutamakan laki-laki, dan isi buku mata pelajaran yang membahas tentang perempuan akan memberikan banyak pengaruh terhadap kesenjangan gender dalam pendidikan. (Susanti, Rini Dwi, 2015)
Sebagai agent of change, sudah sewajarnya dunia pendidikan di Indonesia tampil dengan memberikan pandangan gender secara benar kepada peserta didik. Pendidik diharapkan menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender sejak dini dalam rancangan bahan ajar dan proses pembelajaran sastra sehingga peserta didik tidak lagi terbelenggu dalam sistem kehidupan yang berdasarkan pada patriarki yang sama sekali tidak menguntungkan. Jika penanaman nilai-nilai gender semacam ini dikembangkan dan terus dipertahankan maka akan lahir generasi baru yang sadar dan responsif terhadap kesetaraan gender.

2.2. Penyetaraan Gender

Kesetaraan gender adalah kesamaan hak bagi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kesempatan atas hak-haknya, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam segala aspek kehidupan dan kesamaan kesempatan dalam menikmati hasil dari pembangunan. (Abidin, Bunga Febriyanti, 2018) Kesetaraan gender bukan berarti mempermasalahkan antara laki-laki dan kaum perempuan. Tetapi lebih dimaknai sebagai upaya membangun dan memberikan kesempatan yang sama terhadap perempuan maupun laki-laki. Kesetaraan gender merupakan kesamaan bagi laki-laki dan perempuan dalam menikmati hasil pembangunan dan memperoleh kesempatan serta haknya dalam segala bidang, termasuk di bidang pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam pasal 31 ayat (1) yang berbunyi setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi baik terhadap laki-laki ataupun perempuan sehingga memiliki kesempatan yang sama dalam menyampaikan aspirasi, memiliki kesempatan yang sama dalam berpartisipasi, serta memiliki kesempatan yang sama dalam memanfaatkan pembangunan yang telah diupayakan oleh pemerintah.
Pada era milenial seperti saat ini, seharusnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan semakin berkembang, kaum perempuan seharusnya sudah mampu menggapai impiannya tanpa harus mengalami tekanan dari pihak manapun, kaum perempuan seharusnya sudah mampu mempertahankan harga dirinya agar tidak diperlakukan semena-mena dan diskriminasi dalam segala hal.
(Abidin, Bunga Febrianti, 2018) Sebagai hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial yang telah dibangun sejak dahulu, konsep gender yang terdapat ketimpangan gender terhadap perempuan berpengaruh cukup besar. Berangkat dari pemikiran yang optimis dan sadar akan kesetaraan gender, maka ada alternatif-alternatif upaya menegakkan kesetaraan gender, yaitu melakukan dekontruksi ketimpangan gender dalam bidang  pendidikan, penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, peningkatan kualitas hidup kaum perempuan, mengedukasi lingkungan keluarga, melakukan dekontruksi terhadap nilai-nilai yang berdasarkan pada patriarki, penggalakan dan pensosialisasian perihal kesetaraan gender, dan mendukung upaya pemerintah dalam mewujudkan adanya kesetaraan gender.

2.3. Peranan Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan

                 Kesetaran gender merupakan kunci utama untuk mengakhiri kemiskinan. Kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh akses yang sama perihal kesehatan, pendidikan, ataupun gizi menjadi cara yang dapat diterapkan. Pembangunan berkelanjutan hadir tanpa membedakan ras, agama, suku, maupun jenis kelamin. Semua orang berhak mengontrol dan menikmati hasil pembangunan.
Kesetaraan gender merupakan tantangan besar yang tidak hanya berdampak pada ranah mata pencaharian atau kehidupan kaum perempuan, namun berdampak pada pembangunan manusia, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dan sebagainya. Sustainable Development Goals menjadikan kesetaraan gender menjadi salah satu tujuan yang harus dicapai pada tahun 2030 nanti. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan dan mengesahkan Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Perempuan merupakan poin penting  yang berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, stabilitas dan perkembangan ekonomi yang berkelanjutan. (PROSIDING PERTEMUAN NASIONAL MASYARAKAT SIPIL INDONESIA UNTUK SDGs, 2017)


BAB III

ANALISIS DAN SINTESIS


3.1 Memahami Pentingnya Kesetaraan Gender


Untuk memahami perihal kesetaraan gender maka harus diketahui terlebih dahulu perbedaan gender dan jenis kelamin. Ketidakpahaman perihal ini mampu menyebabkan adanya ketimpangan gender dan pertentangan untuk menerima suatu analisis gender dalam sebuah persoalan ketidakadilan. Sugihastuti dan Saptiawan (2010:6) menyatakan bahwa kelamin adalah kombinasi unsur-unsur anatomis, endokrin, dan kromosom. Hal tersebut adalah awal mula pembedan biologis antara laki-laki dan perempuan. Adapun secara etimologi, gender memiliki arti sebagai perbedaan jenis kelamin yang diciptakan oleh seseorang itu sendiri melalui proses sosial budaya yang panjang. Menurut Zimmerman dalam Sugihastuti dan Saptiawan (2010:4), gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir dan bukan juga sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita lakukan. Dengan kata lain, gender melekat pada dan memengaruhi penampilan setiap orang sehingga nantinya akan muncul semacam sikap otoriter pada penampilan persona-persona tersebut.

Kesetaraan gender merupakan kesamaan bagi laki-laki dan perempuan dalam menikmati hasil pembangunan dan memperoleh kesempatan serta haknya dalam segala bidang, termasuk di bidang pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam pasal 31 ayat (1) yang berbunyi setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi baik terhadap laki-laki ataupun perempuan sehingga memiliki kesempatan yang sama dalam menyampaikan aspirasi, memiliki kesempatan yang sama dalam berpartisipasi, serta memiliki kesempatan yang sama dalam memanfaatkan pembangunan yang telah diupayakan oleh pemerintah.

Pada hakikatnya, perempuan membutuhkan pendidikan selayaknya laki-laki. Bila ditilik dari sejarah masa lalu ketika Indonesia masih dijajah oleh berbagai negara, perempuan begitu tidak dihargai. Pemerkosaan, pembunuhan, kawin paksa, perdagangan wanita, dijadikan budak seks, serta pelarangan bagi wanita yang bukan berasal dari golongan priyayi untuk menuntut ilmu menandakan bahwa kesetaraaan gender sama sekali belum ditegakkan. Dampak dari peristiwa tersebut, pandangan serta pola pikir masyarakat masih terkontaminasi. Perempuan diangggap tidak mampu untuk berperan dalam berbagai bidang. Golongan tua yang tidak sempat mengenyam pendidikan maka akan memiliki pandangan seperti itu, orang tua akan menyekolahkan anak laki-lakinya sampai ke jenjang yang paling tinggi sedangkan anak perempuannya tidak harus bersekolah.

Sejak konferensi Dunia tentang perempuan yang pertama pada tahun 1975 di Meksiko, negara-negara di dunia telah mengupayakan dan menunjukkan perbaikan terhadap posisi perempuan dalam kedudukannya di masyarakat melalui peningkatan pemahaman pentingnya peran perempuan dalam proses pembangunan. Indonesia juga meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita melalui UU NO. 7 tahun 1984, yang secara eksplisit mengakui pentingnya pemenuhan hak-hak substantif bagi perempuan menuju keadilan dan kesetaraan gender.

Pada saat ini, pemerintah telah berupaya untuk menegakkan kesetaraan gender di segala bidang, termasuk di bidang pendidikan. Hal tersebut terbukti dengan adanya program pemerataan pendidikan di seluruh penjuru Indonesia serta diberlakukannya pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang mengatur tentang pendidikan, di mana dalam pasal ini tercantum bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang, serta pernyataan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Upaya pemerintah ini diperkuat dengan adanya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang mengamanatkan bahwa dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran dan kualitas perempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, perlu melakukan strategi pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses  pembangunan nasional. Strategi PUG ini dilaksanakan dengan cara memastikan adanya akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang adil dan setara bagi laki-laki dan perempuan dalam pembangunan.
Dengan adanya upaya tersebut, banyak generasi muda memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengenyam pendidikan lalu menjelma menjadi agent of change bagi negara Indonesia melalui jalur pendidikan, baik laki-laki maupun perempuan. Pemikiran dan pandangan orang tua kini telah berubah, anak-anak perempuan di kota ataupun di desa kini telah bersekolah, terlepas dari golongan mampu atau golongan kurang mampu. Kesetaraan gender dalam pendidikan ini menjadikan sumber daya manusia di Indonesia menjadi lebih baik, sehingga segala bidang dapat berjalan dengan semestinya.


3.2 Memahami  Hubungan Kesetaraan Gender dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

            Kesetaraan gender merupakan tantangan yang harus diupayakan oleh pemerintah penerapannya. Kesetaraan gender bukan hanya isu yang dimiliki oleh kaum perempuan, tapi juga lelaki (National Head of Public Relations Association Internationale des Etudiantes en Science Economiques at Commerciales Indonesia). Menurut Adriana yang menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan, salah satu penyebab kegagalan Pembangunan Millenium (MDGs) yaitu dikarenakan pemerintah tidak memasukkan isu perempuan dan anak secara spesifik. (VOA, 2016)
            Data kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya semakin meningkat. Data Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pada tahun 2015, angka kekerasan terhadap perempuan mencapai 300 ribu. (Komnas HAM, 2015) Kesetaraan gender tidak dapat dilihat hanya sebagai isu perempuan saja. Memajukan perempuan dan mencapai kesetaraan gender adalah satu-satunya cara untuk membangun masyarakat yang adil, maju dan berkelanjutan. Kesetaraan gender adalah prasyarat untuk mencapai keamanan politik, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan hidup bagi semua rakyat (Landasan Aksi Beijing, Konferensi Dunia PBB tentang Perempuan dan negara pemohon anggota, 1995:41).
     Jadi, apabila gender di Indonesia telah setara maka pembangunan berkelanjutan yang diterapkan di Indonesia dapat dikategorikan sukses.

3.3 Memahami Upaya Penyetaraan Gender dalam Pembelajaran Sastra Berspektif Feminisme dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan


3.3.1 Penerapan Sastra Feminisme dalam Bahan Ajar Pembelajaran Sastra
          Sastra adalah salah satu bentuk representasi budaya yang menggambarkan relasi dan rutinitas gender. Selain itu, teks sastra juga dapat menciptakan stereotipe gender baru yang lebih merepresentasikan kebebasan gender baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, sastra feminisme membantu membangun studi gender yang direpresentasikan dalam sastra.

(Goodman, 2001:2). Sastra feminis secara sederhana dapat diartikan sebagai kajian yang memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang mengarang (Sugihastuti, 2005:5).

Istilah feminisme berasal dari kata feminism (Inggris) yang berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Feminisme secara etimologi berasal dari kata famme (woman) yang berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan laki-laki. Feminisme menolak ketidakadilan terhadap perempuan dan menolak sejarah dan filsafat sebagai suatudisiplin yang berfokus pada laki-laki (Ratna, 2007:186)

Pembelajaran yang berspektif feminisme akan memiliki daya tarik bagi siswa jika dikemas secara interaktif, tidak dengan metode menghafal atau sekadar teori. Pemanfaatan teknologi dalam pendidikan sangat diperlukan. Tayangan video, film atau rangkaian gambar yang bersifat edukatif dan mengandung unsur kesetaraan gender dapat digunakan untuk menanamkan pola pikir yang positif atau mengubah mind-set peserta didik. Bahan ajar yang digunakan berperan besar terhadap fenomena gender, termasuk buku-buku pelajaran yang digunakan. Bahan ajar yang mengangkat tentang kesetaraan gender adalah bahan ajar yang mengedukasi, mengajarkan, menggambarkan keadilan dan kesetaraan serta kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam berpartisipasi, menyampaikan aspirasi, penguasaan terhadap teknologi serta persamaan hak dalam mengenyam manfaat pembangunan, memberikan stereotype gender yang tepat serta menghilangkan stereotype gender yang keliru, menggambarkan potret laki-laki dan perempuan yang dinamis dalam segala aspek, termasuk dalam aspek sosial budaya. Bahan ajar yang responsif terhadap kesetaraan gender sebaiknya terus disosialisasikan ke berbagai kalangan, baik pada guru mata pelajaran, pihak pengawas dan dinas pendidikan, bahkan orang tua peserta didik. Dengan adanya sosialisasi perihal kesetaraan gender dalam bahan ajar, diharapkan ketimpangan gender dapat dihilangkan. (Susanti, Rini Dwi, 2015)

Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara selalu terkungkung oleh tradisi ketimpangan gender. Permasalahan gender merambah ke dalam dunia sastra sehingga memunculkan sebuah bentuk kajian sastra dengan pokok pembahasannya adalah kaum perempuan yang dikenal dengan istilah kritik sastra feminisme. Secara umum, feminisme merupakan gerakan yang bertujuan menghilangkan ketimpangan gender dan mencapai keseimbangan perlakuan kaum perempuan dan kaum laki-laki. Menurut Suaka (2014:126), feminisme merupakan gerakan yang dilakukan oleh kaum wanita untuk menentang segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan, baik dalam tataran ekonomi, politik, maupun kehidupan sosial lainnya.

Adapun menurut Wolf dalam Sofia (2009:12) mengartikan bahwa feminisme sebagai sebuah teori yang mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan. Hal itu diperkuat oleh Goefe (Sugihastuti, 2000:37) yang menyatakan bahwa feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Banyaknya buku pelajaran yang menggunakan kutipan karya sastra yang bias gender, memunculkan pembelajaran sastra yang berspektif feminis ini. Pembelajaran sastra berspektif feminisme ini diupayakan agar terlengsernya ketimpangan gender dan mind-set yang keliru. Dari perspektif feminis, sastra merupakan bagian dari konteks atau kebudayaan. Suatu teks sastra mengajak para pembacanya untuk memahami, kemudian mendorong pembaca untuk menyetujui atau menentang kebudayaan yang berlaku di masyarakat.

Menurut Murniati (2004:27), kebudayaan menjadi faktor dominan ketika sebuah ideologi dioperasionalkan dalam kehidupan manusia. Salah satu pembelajaran sastra yang dapat ditanamkan perihal kesetaraan gender adalah cerita pendek yang berbau feminisme, dengan pembahasan utamanya adalah kaum perempuan. Hal ini selaras dengan upaya pemerintah dalam menangani permasalahan pendidikan di Indonesia. Karya sastra feminisme dapat membantu upaya pemerintah dalam pembentukan kepribadian yang baik melalui karya sastra, sehingga tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Cerita pendek dapat dijadikan sebagai media pengenalan kesetaraan gender dan pembentukan karakter peserta didik. Melalui karya sastra, peserta didik mudah mencerna nilai dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Tokoh dan penokohan serta peristiwa yang termuat dalam cerpen dapat membentuk daya imajinasi sekaligus menjadi inspirasi peserta didik. Adapun amanat yang memuat nilai-nilai budi pekerti, sopan dan santun, nilai budaya, nilai sosial, kesetaran gender, keadilan disampaikan melalui tokoh dan karakter tokoh tersebut sehingga amanat yang terkandung tersampaikan secara tersirat dan alami tanpa ada unsur menggurui.

3.3.2 Gambaran Karya Sastra Feminisme yang Dapat Diterapkan dalam Bahan Ajar Pembelajaran Sastra

Berikut ini contoh karya sastra feminis yang mengandung unsur kesetaraan gender dan perjuangan seorang perempuan yang dapat diterapkan dalam bahan ajar pembelajaran sastra:

PERJUANGAN SEORANG REMAJA
Karya Anonim (tidak diketahui pengarangnya)


Rita adalah seorang remaja berusia 16 tahun yang berasal dari keluarga yang kehidupannya sangat memperihatinkan. Untuk mendapatkan sesuap nasi saja keluarga Rita harus susah payah dan sering kali Rita rela tidak makan demi adiknya. Rita memiliki seorang adik yang berusia 11 tahun. Dengan kondisi keluarga yang kehidupannya jauh dari kata layak, Rita tetap berusaha untuk tegar dan menyikapi hidup secara positif. Rita putus sekolah tingkat menengah akhir lantaran orang tuanya tidak lagi memiliki uang untuk membiayainya. Rita sangat menyayangkan nasib adiknya.

Dengan kesulitan yang dihadapi keluarganya, Rita selalu berpikir tentang masa depan adiknya kelak. Meskipun dia sendiri sudah sangat terdesak dan tersiksa dengan kondisinya, namun bagi Rita masa depan adiknya masih menjadi perhatian utama buat dia.

“Jika saya seperti ini, mungkin hal ini bisa saya hadapi. Tapi, bagaimana dengan adik saya kelak?”

Itulah pertanyaan dan kekhawatiran yang selalu hinggap dibenak Rita. Meskipun sudah sangat dipersulit dengan kondisinya, namun Rita tetap berusaha untuk mencari jalan keluar, tanpa merasa letih. Pada suatu hari, Rita mencoba melamar pekerjaan di sebuah pekerjaan swasta dengan berbekal ijazah SMP yang dia miliki. Sayang, setelah mendapatkan panggilan interview Rita tidak diterima karena dianggap tidak memenuhi kriteria yang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut.

Uang sebesar 10.000 rupiah yang dikumpulkan Rita selama satu minggu dia gunakan untuk membeli surat kabar untuk mencari informasi lowongan kerja terbaru. Terus berusaha mencari informasi dan tanpa mengenal putus asa.

Pagi itu Rita membeli surat kabar di sebuah kios sekitar 1 KM dari rumahnya. Dalam surat kabar tersebut tertera sebuah informasi lowongan terbaru untuk lulusan SMP dan SMA. Rita lantar menuliskan surat lamaran dan menggunakan sisa uang membeli koran tadi untuk membeli materai.Setelah menunggu selama tiga hari, Rita mendapatkan panggilan untuk wawancara. Setelah selesai melakukan sesi wawancara, tanpa disangka-sangka akhirnya Rita berhasil mendapatkan pekerjaan.Perusahaan tersebut menerima Rita untuk ditempatkan di bagian pengawasan store. Rita sangat senang, dan kegemberiaan da sunggh luar biasa. Setibanya di rumah, dia lantas memeluk erat adiknya. Dalam hati dia berbisik kepada adiknya.

“Kakak harus bisa memberikan jalan buat kamu, karena kakak tidak ingin kamu bernasib seperti kakak”.


Dari cerita pendek di atas, dapat dipahami bahwa karya sastra feminisme yang mengangkat tentang kesetaraan gender sudah marak diangkat oleh penulis. Dari cerita pendek tersebut dapat ditemukan bahwa tokoh Rita tampak sebagai anak perempuan yang memiliki pemikiran yang dewasa di tengah-tengah kondisi ekonomi yang sukar. Keberadaan tokoh Rita di atas diharapkan dapat memberikan pelajaran dan pemahaman bagi peserta didik khususnya perempuan untuk berani menghadapi dunia. Nuansa kesetaraan gender yang ditawarkan dalam cerita pendek ini menunjukkan telah adanya kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan posisi di perusahaan meski hanya bermodalkan ijazah pendidikan sekolah menengah pertama. Karya sastra tersebut berbeda dengan karya sastra menggambarkan ketidakberdayaan perempuan seperti cerita rakyat yang berjudul Tanjung Menangis (cerita rakyat Sumbawa). Hal ini memberikan kesan bahwa wanita tidak berhak memutuskan tentang perasaannya terhadap laki-laki yang dicintainya sebab adanya ikut campur dari ayahnya.
Cerita pendek ataupun karya sastra lainnya yang mengangkat tema tentang perempuan dengan kemampuannya yang dapat dikategorikan sama dengan laki-laki inilah yang seharusnya ditekankan dalam bahan ajar pembelajaran sastra sehingga mind-set peserta didik sudah didoktrin bahwa perempuan bukanlah makhluk yang lemah dalam segala bidang, kecuali lemah dalam tenaga.

Oleh karena itu, apabila pemerintah hendak mencapai dan mengupayakan adanya kesetaraan gender sebagai salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan, maka pembelajaran sastra dengan perspektif feminisme perlu diperhatikan dalam pembuatan bahan ajar di Sekolah Menengah Atas, sehingga seorang pendidik mampu memilih dan memilah bahan ajar yang tepat secara selektif dan memikirkan dampaknya bagi peserta didik. Apabila pembelajaran sastra dengan perspektif feminisme mampu diaplikasikan secara positif dengan kepekaan dan keselektifan pendidik, maka sektor pendidikan adalah sektor paling strategis untuk menghilangkan ketimpangan gender serta menanamkan pola pikir dan wawasan tentang kesetaraan gender yang tepat bagi peserta didik sejak dini.

       Dedi Haryadi (2007) menyatakan bahwa kajian karya sastra berdasarkan perspektif feminisme sebagai pijakan pengembangan pembelajaran sastra yang berorientasi gender diperoleh data terjadinya perubahan sikap moral yang cukup positif. Sebelum pembelejaran gender diberikan, masih banyak yang beranggapan bahwa pria memiliki posisi dan kekuatan superrior dibandingkan dengan wanita yang imperior. Namun, setelah pembelajaran sastra berspektif feminisme, mereka menyadari bahwa pria dan wanita diciptakan oleh Tuhan memiliki hak dan kewajiban yang sama dan masing-masing harus menyadari kelemahan dan keunggulan yang dimiliki sehingga antara keduanya dapat saling menjunjung tinggi dan saling menghormati. Perubahan sikap moral yang tergambarkan merupakan suatu konskeuensi logis dari proses pembelajaran yang dilaksanakan sehingga, proses pembelajaran sastra berbasis kajian feminisme sangat efektif untuk membangun sikap moral positif pembelajaran tentang masalah gender di Indonesia. Tampak bahwa pembelajaran sastra dapat menjadi media yang sangat efektif dalam membangun sikap moral positif, pembelajaran sebagai bekal hidup berbangsa dan bernegara.












BAB IV

SIMPULAN DAN REKOMENDASI


4.1 Simpulan


Berdasarkan hasil kajian, analisis dan sintesis maka simpulan dalam karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.      Kesetaraan gender adalah tidak adanya diskriminasi baik terhadap laki-laki ataupun perempuan sehingga memiliki kesempatan yang sama dalam menyampaikan aspirasi, memiliki kesempatan yang sama dalam berpartisipasi, serta memiliki kesempatan yang sama dalam memanfaatkan pembangunan yang telah diupayakan oleh pemerintah.
2.      Pada saat ini, pemerintah telah berupaya untuk menegakkan kesetaraan gender. Hal tersebut terbukti dengan adanya program pemerataan pendidikan di seluruh penjuru Indonesia serta diberlakukannya pasal 31 UUD RI tentang “Pendidikan”.
3.      Bahan ajar yang mengangkat tentang kesetaraan gender adalah bahan ajar yang mengedukasi, mengajarkan, menggambarkan keadilan dan kesetaraan serta kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam berpartisipasi, menyampaikan aspirasi, penguasaan terhadap teknologi serta persamaan hak dalam mengenyam manfaat pembangunan, memberikan stereotype gender yang tepat serta menghilangkan stereotype gender yang keliru, menggambarkan potret laki-laki dan perempuan yang dinamis dalam segala aspek, termasuk dalam aspek sosial budaya.
4.      Karya sastra feminisme dapat membantu upaya pemerintah dalam pembentukan kepribadian yang baik melalui bahan ajar, sehingga tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Cerita pendek dapat dijadikan sebagai media pengenalan kesetaraan gender dan pembentukan karakterpeserta didik. Melalui karya sastra, peserta didik mudah mencerna nilai dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Tokoh dan penokohan serta peristiwa yang termuat dalam cerpen dapat membentuk daya imajinasi sekaligus menjadi inspirasi peserta didik. Adapun amanat yang memuat nilai-nilai budi pekerti, sopan dan santun, nilai budaya, nilai sosial, kesetaran gender, keadilan disampaikan melalui tokoh dan karakter tokoh tersebut sehingga amanat yang terkandung tersampaikan secara tersirat dan alami tanpa ada unsur menggurui.

4.2 Rekomendasi


Dalam era milenial seperti saat ini, doktrin pemikiran tentang lemahnya kaum perempuan di berbagai kalangan tidak seharusnya masih bercokol dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyrakat era milenial ini seharusnya mampu berpikir modern dan memandang sesuatu dengan sudut pandang yang positif, terkhus perihal perempuan. Masyarakat seharusnya mampu memahami bahwa pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan. Adanya pemahaman masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender ini secara tidak langsung membantu pemerintah mewujudkan sila kelima pancasila yang berbunyi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Masyarakat sebaiknya lebih proaktif dalam menyuarakan kesetaraan gender, peduli terhadap keadilan hak dan kesempatan kaum perempuan dan masyarakat sebaiknya mampu menjadi agent of change dari budaya-budaya yang salah namun telah mendarah daging di Indonesia. Jika pemerintah mengupayakan kesetaraan gender dari segi pemerintahan dengan pemberlakuan pasal-pasal atau undang-undang yang mengatur tentang kesamaan hak, kesempatan dan derajat masyarakat Indonesia, maka masyarakat sebaiknya menjelma menjadi pengamat perempuan dengan kehidupan sosialnya di lingkungan sekitarnya kemudian menuliskan hal yang diamati melalui karya sastra, sehingga karya sastra yang dilahirkan oleh masyarakat merupakan karya sastra yang memang merupakan suatu realita dan ditulis berdasarkan apa yang didengar maupun dilihat, sehingga karya sastra tersebut merupakan kehidupan yang jujur namun diimajinasikan.

Karya sastra feminis seperti itulah yang diharapkan mampu mengubah sudut pandang khalayak umum baik dari golongan tua maupun golongan muda. Dengan adanya karya sastra feminis ini, kemungkinan untuk adanya kesetaraan gender di Indonesia dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dengan sub pokok kesetaraan gender dapat tercapai. Dengan adanya karya sastra feminis yang ditulis dengan jujur oleh masyarakat diharapkan mampu membuka pandangan pemerintah bahwa karya sastra feminis dengan bahasan tentang perjuangan, kelebihan dan kemampuan kaum perempuan perlu diterapkan dalam pembelajaran sastra pada bahan ajar.





































DAFTAR PUSTAKA


Abidin, Bunga Febrianti, dkk. (2018). Ketidakadilan Kesetaraan Gender yang Membudaya. Https://www.researchgt.net/1publication/329643129pdf  diakses pada 28 Maret 2019 pukul 14.15

Aryani, Adriana Venny, dkk. (2015). Kekerasan Terhadap Perempuan: Negara Segera Putus Impunitas Pelaku. Https://www.komnasperempuan.go.id diakses pada 15 Maret 2019 pukul 10.22

Badan Pusat Statistik. (2018). Jumlah Penduduk Perempuan Mulai 2032 Lebih Banyak dari Laki-Laki. Https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/10/22/jumlah-penduduk-perempuan-mulai-2032-lebih-banyak-dari-laki-laki diakses pada tanggal 25 Maret 2019 pukul 13.44

Goodman, Lizbeth. 2001. Litarature and Gender. New York: The Open University.
Heryadi, Dedi. (2007). Kajian Karya Sastra Berdasarkan Perspektif Feminisme Sebaai Pijakan Pengembangan Pembelajaran Sastra yang Berorientasi Gender. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. (No. 068, tahun ke-13 hal. 776-793). Diakses pada tanggal 17 Maret 2019 pukul 12.05

Jusuf, Gellwynn. (2017). Terjemahan Tujuan dan Target Global Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/ Sustainable Development Goals (SDGs). Https://Sdgs.bappenas.go.id diakses pada tanggal 19 Maret 2019 pukul 10.12

Murniati, A.N.P. (2004). Getar Gender. Magelang: Indonesiatera.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sofia, A. (2009). Kritik Sastra Feminism. Yogyakarta: Citra Pustaka.
Suaka, N.I. (2004). Analisis Sastra. Yogyakarta: Ombak.

Sugihastuti dan Saptiawan.2010. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta.

Sugihastuti dan Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis:Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.

Susanti, Rini Dwi. (2015). Pendidikan Sastra Sensitif Gender; Alternatif Metode Pembelajaran Sastra Berperspektif Gender untuk Jenjang Sekolah Dasar. Jurnal PALASTREN Vol. 8, No. 2 Hlm 387-388). Diakses pada tanggal 17 Maret 2019 pukul 14.12

Wardah Fathiyah. (2016). Indikator Gender Harus Masuk dalam Pelaksanaan SDGs. Https://www.voaindonesia.com/amp/indikator-gender-harus-masuk-dalam pelaksanaan-sdgs. Diakses pada tanggal 25 Maret 2019 pukul 14.50

Komentar

  1. Best casino, bonuses, games, games and reviews - DrMCD
    We found that Casino Name Match is 안산 출장안마 a high 김해 출장마사지 payout 대전광역 출장샵 bonus which you have 대구광역 출장안마 to deposit money or play online instead. A new 안양 출장안마 casino Name Match bonus is

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah ke-pgri-an hubungan pgri secara vertikal dan horizontal

BAB I PENDAHULUAN B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas sebagai berikut. 1. Bagaimana kerjasama PGRI secara vertikal ? 2. Bagaimana kerjasama PGRI secara horizontal ? 3. Bagaimana hubungan PGRI dengan pemerintah pusat ? 4. Bagaimana hubungan luar negeri dengan Educational International (EI) ? C. Tujuan Pembahasan 1. Untuk mengetahui bagaimana kerjasama PGRI secara vertikal . 2. Untuk mengetahui bagaimana kerjasama PGRI secara horizontal. 3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan PGRI dengan pemerintah pusat. 4. Untuk mengetahui bagaimana hubungan luar negeri dengan Educational International (EI) D. Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup makalah ini hanya membahas mengenai kerjasama PGRI secara vertikal, kerjasama PGRI secara horizontal, hubungan PGRI dengan pemerintah pusat serta membahas mengenai hubungan luar negeri dengan EI (Educational International). E. Man

Makalah Perkembangan Peserta Didik Tugas Perkembangan Kehidupan Pribadi, Pendidikan dan Karir, Kehidupan Berkeleuarga dan Penyesuaian Diri Remaja

KATA PENGANTAR         Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji syukur atas Kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah perkembangan peserta didik tentang “Tugas Perkembangan Kehidupan Pribadi, Pendidikan dan Karier,Kehidupan Berkeluarga dan Penyesuaian Diri Remaja”. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam proses pembuatan makalah ini, untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.           Dalam pembuatan makalah ini, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih ada   kekurangan   baik dari susunan, kalimat, maupun tata bahasa. Oleh karena itu, saran dan kritik dari teman-teman dan dosen sangat kami harapkan untuk dapat memperbaiki makalah kami kedepannya. Kami harap makalah perkembangan perserta didik tentang “Tugas Perkembangan Kehidupan

Makalah Teori Sastra Hakikat Puisi, Struktur Bentuk Puisi,Batasan Puisi, dan Jenis-Jenis Puisi

KATA PENGANTAR         Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji syukur atas Kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah teori sastra tentang “Hakikat Puisi, Struktur Bentuk Puisi, Batasan-Batasan Puisi, Jenis-Jenis Puisi”. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam proses pembuatan makalah ini, untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.           Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini masih ada   kekurangan   baik dari susunan, kalimat, maupun tata bahasa. Oleh karena itu, saran dan kritik dari teman-teman dan dosen sangat kami harapkan untuk dapat memperbaiki makalah kami kedepannya. Diharap makalah teori sastra tentang “Hakikat Puisi, Struktur Bentuk Puisi, Batasan-Batasan Puisi, dan Jenis-Jenis Puisi” dapa