Langsung ke konten utama

makalah filologi kajian cerita rakyat Lubuklinggau


KATA PENGANTAR


        Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah filologi tentang “Kajian Cerita Rakyat Di Lubuklinggau”. Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam proses pembuatan makalah ini, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
          Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih ada  kekurangan  baik dari susunan, kalimat, maupun tata bahasa. Oleh karena itu, saran dan kritik dari teman-teman dan dosen sangat diharapkan untuk dapat memperbaiki makalah penulis kedepannya.
Diharap makalah filologi tentang “Kajian Cerita Rakyat Di Lubuklinggau” dapat memberikan manfaat bagi pembaca baik untuk menambah pengetahuan maupun sebagai referensi. Demikian makalah ini dibuat, terima kasih.




Lubuklinggau, 10 Desember  2019


Penulis











BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu kekayaan daerah yang seharusnya diangkat atau dilestarikan adalah khazanah cerita lisan atau cerita rakyat atau biasa disebut juga folkfor. Oleh karena itu cerita rakyat itu menjadi memori kolektif masyarakat lokal di daerah setempat. Tersebar di berbagai tempat dan belum semuanya terdokumentasi secara baik. Padahal cerita rakyat merupakan salah satu sumber kekayaan tradisi lisan yang perlu terus diungkap, digali, dilestarikan dan bahkan label budaya masyarakat.
Itulah sebabnya setiap daerah perlu menggali dan meruntut kembali cerita rakyat yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian berbagai kisah masa lalu yang berkembang di masyarakat dapat diungkap dan disajikan sebagai salah satu khazanah dan aset daerah, tentunya cerita rakyat juga mempunyai banyak manfaat dalam kehidupan masa kini.
Namun dengan berkembangnya zaman maka terjadi perubahan-perubahan pola pikir manusia tradisional ke modern sehingga bukan perkara mudah untuk mewujudkannya. Banyak kendala di masyarakat karena modernisasi dan berkembangnya teknologi informasi  contohnya televisi, internet, VCD, permainan game dan lain lain,serta ketidak pedulian masyarakat  membuat cerita rakyat kurang diminati sehingga lambat laun mulai punah. Padahal bila kita ketahui sesungguhnya banyak ditemukan ajaran kehidupan falsafah, nilai-nilai kearifan lokal, ajaran kebijaksanaan sehingga sarat dengan nilai-nilai moral yang positif sehingga nilai pendidikan (edukasi) yang sesuai latar belakang kehidupan mereka.
Di sinilah sebenarnya perlu ditumbuhkan kesadaran dan upaya  terus menerus mengenalkan sastra daerah beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kepada generasi mendatang melalui kisah bertutur, membaca, bercerita atau mendongeng di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah. Oleh karena itu  perlu kajian, penilaian, serta identifikasi berbagai cerita rakyat di Lubuklinggau.

B. Rumusan Masalah
1.      Apakah itu sastra lisan?
2.      Apa saja bentuk-bentuk sastra lisan?
3.      Apa fungsi dan struktur sastra lisan?
4.      Apa saja cerita rakyat Kota Lubuklinggau?
5.      Bagaimana hubungan sastra lisan dan filologi lisan?

C. Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui definisi sastra lisan.
2.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk sastra lisan.
3.      Untuk mengetahui fungsi dan struktur sastra lisan.
4.      Untuk mengetahui cerita-cerita rakyat Kota Lubuklinggau.
5.      Untuk mengetahui hubungan sastra lisan dan filologi lisan.
D. Manfaat  Pembahasan
Adapun manfaat dalam penulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat menambah wawasan dan dapat lebih memahami mengenai definisi sastra lisan, bentuk-bentuk sastra lisan, fungsi dan struktur sastra lisan, cerita-cerita rakyat Kota Lubuklinggau, dan hubungan sastra lisan dan filologi lisan serta dapat menjadi referensi.






















BAB II
PEMBAHASAN

A. Sastra Lisan  (Folklor)
            Sastra (Juwati, 2018:3) didefinisikan sebagai institusi sosial yang menggunakan mediam bahasa. Sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia. Sastra terbagi menjadi dua, yaitu sastra tulis dan sastra lisan. Sastra tulis ialah sastra yang tertulis maupun tercetak. Sedangkan sastra lisan/folklor ialah bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dengan cara lisan sebagai milik bersama. Sastra lisan merupakan cerminan situasi, kondisi, dan tata krama masyarakat pendukungnya.
Danandjaja (Juwati, 2018:5) menyatakan bahwa folklor merupakan sebagian dari kebudayaan suatu kolektif yan tersebar dan diwariskan secara turun temurun di antara kolektif mecam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun disertai contoh melalui gerak isyarat atau alat bantu. Adapun menurut Dundes dalam (Danandjaja, 2002:1) kata folklor adalah yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaraan kepribadian sebagai suatu kesatuan masyarakat dan sebagai kebudayaan yang diwariskan secara lisan, melalui gerak isyarat atau melalui alat pembantu mengingat.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, disimpulkan bahwa folklor ialah bagian kebudayaan yang pada dasarnya disebar secara lisan sebagai milik bersama, folklor ini merupakan warisan dari nenek moyang diwariskan secara turun temurun.
Secara umum, ciri sastra lisan yang tersebar di masyarakat umum yakni banyak mngungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise dan sering bersifat menggurui. Ciri-ciri sastra lisan, yaitu:
1.    Lahir dari masyarakat yang polos.
2.    Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu yang tak jelas siapa penciptanya.
3.    Menekankan pada aspek khayalan, ada sindirian, jenaka, dan pesan yang mendidik.
4.    Melukiskan tradisi tertentu.
5.    Anonim.
6.    Milik bersama suatu kolektif.
7.    Diwariskan secara lisan.
8.    Diwariskan dalam rentang waktu yang lama.
9.    Eksis dalam versi dan varian.
10.    Terdapat unsur interpolasi.
11.    Spontan.
12.    Ada proyeksi keinginan.
13.    Menggunakan kalimat klise.

B. Bentuk-bentuk Sastra Lisan
            Sastra lisan menurut Sukamto (Juwati, 2018:24) dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu sastra bukan lisan, sastra setengah lisan dan sastra lisan.
1. Sastra Bukan Lisan
            Folklor bukan lisan merupakan folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu material dan bukan material. Bentuk folklor material antara lain arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan folklor bukan material berupa gerak isyarat tradisional (gesture) dan musik rakyat. Berikut adalah contoh folklor bukan lisan :
IMG-20191024-WA0034.jpg
                                               Pakaian Adat Provinsi Sumatera Selatan                    
           (sumber:https://tabbayun.com/pakaian-adat-sumatera-selatan/)

2. Sastra Sebagian Lisan
            Folklor sebagian lisan ialah folklor yang berbentuk gabungan unsur lisan dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor sebagian lisan berupa permainan rakyat, teater rakyat, tarian rakyat, adat istiadat, upacara, dan pesta rakyat. Berikut ini ialah contoh folklor sebagian lisan yang berupa teater rakyat yang berkembang di provinsi Sumatera Selatan. Teater rakyat ini dikenal dengan istilah dul muluk.
20120422dul-muluk.jpg
Gambar 5. Teater Rakyat Provinsi Sumatera Selatan


3. Sastra Lisan
Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Adapun yang termasuk dalam genre ini ialah bahasa rakyat (julukan, pangkat tradisional, logat, dan title kebangsawanan), ungkapan tradisional (pribahasa, pepatah, dan pemeo), pertanyaan tradisional (teka-teki), puisi rakyat (pantun, gurindam, dan syair), prosa rakyat (mite, legenda, dongeng) dan nyanyian rakyat. Berikut adalah contoh folklor lisan yang berupa puisi rakyat, yaitu gurindam. Gurindam adalah salah satu puisi lama atau melayu yang sangatlah penting sebagai warisan budaya bangsa. Gurindam sarat dari moral dan nilai agama.

Barang siapa mencari ilmu
Maka carilah ke para guru

Ketika engkau tengah belajar
Haruslah tekun dan juga sabar


C. Fungsi dan Struktur Folklor
            Setiap sastra lisan memiliki fungsi atau kegunaan di dalam masyarakat pemiliknya. Hal ini menjadikan folklor diminati dan dipertahankan oleh suatu suatu komunitas pemiliknya. Danandaja (Juwati, 2018:14) sastra lisan berfungsi sebagai alat kendali sosial, hiburan, memulai suatu permainan, dan menekan atau mengganggu orang lain. Secara garis besar, fungsi sastra lisan dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
1.    Didaktis, kebudayaan karya sastra lisan mengandung nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan adat isitiadat ataupun agama tertentu. Nilai-nilai yang terkandung dalam kesusasteraan lisan tersebutlah yang kemudian berfungsi sebagai pendidik masyarakat terhadap aturan-aturan yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat.
2.    Sebagai pelipur lara, sastra lisan sebagai alat pendidik masyarakat juga digunakan sebagai penghibur masyarakat.
3.    Sebagai bentuk protes sosial yang berisikan penolakan-penolakan masyarakat atas aturan-aturan yang mengikat mereka. Sehingga karya sastra yang mereka hasilkan lebih digunakan sebagai bentuk aspirasi yang berkaitan dengan kehidupan sosial.
4.    Sastra lisan sebagai sindiran, seringkali dalam bentuk lagu, pantun, dan lainnya.
            Adapun untuk struktur folklor menurut Nurgiyantoro (2005:60) meliputi tema, latar, alur, sudut pandang, gaya bahasa dan motif.
1.    Tema
            Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Tema merupakan dasar pengembangan seluruh cerita yang bersifat mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik dan situasi tertentu, termasuk pula berbagai unsur intrinsik yang lain. Tema ada yang dinyatakan secara eksplisit dan implisit.
2.    Amanat
            Amanat adalah pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya. Amanat juga disampaikan secara implisit, yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara eksplisit, yaitu dengan cara penyampaian seruan, saran, nasihat, anjuran atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.
3.    Tokoh dan Penokohan
            Tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakuan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya, tokoh berwujud manusia, namun dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentarl terbagi menjadi dua, yaitu tokoh sentral protagonis (tokoh yang perwatakan positif) dan tokoh sentral antagonis (tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis). Adapun tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung tokoh sentral yang berupa tokoh andalan (tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral), tokoh tambahan (tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita) dan tokoh lataran (tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja).
            Adapun penokohan yaitu penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada dua metode penyajian watak tokoh, yaitu:
a.       Metode analitis (penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan wata tokoh secara langsung)
b.      Metode dramatik (penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang)
4.    Alur/Plot
            Alur adalah runtutan jalannya cerita yang memiliki struktur yang terdiri dari bagian awal (paparan, rangsangan, dan gawatan), bagian tengah ( tikaian, rumitan, dan klimaks) dan bagian akhir ( leraian dan selesaian).
5.    Lattar/Setting
            Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan berkaitan dengan waktu, ruang, suasana, dan situasi tertentu yang terdapat pada peristiwa dalam cerita. Latar terbagi menjadi tiga, yaitu latar tempat (mengacu pada lokasi dimana peristiwa terjadi), latar waktu (mengacu pada masa terjadinya peristiwa), dan latar sosial (mengacu pada  hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan).
6.    Sudut Pandang/Point Of View
            Sudut pandang adalah cara memandang dan menghadirkan tokoh-tokoh dalam cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Sudut pandang terbagi menjadi dua, yaitu sudut padang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang orang pertama (aku) dapat dibedakan menjadi dua yaitu ‘aku’ sebagai tokoh utama dan ‘aku sebagai tokoh tambahan. ‘Aku’ sebagai tokoh utama mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, dan hubungannya dengan kesadaran, pusat cerita. Sedangkan ‘aku’ sebagai tokoh tambahan ini muncul  untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Adapun untuk sudut pandang orang ketiga (dia) dibedakan menjadi dua gologangan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya, yaitu ‘dia’ mahatau dan ‘dia’ terbata. ‘Dia’ mahatau menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ‘dia’ tersebut. Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan. Sedangkan ‘dia’ terbatas dipergunakan sebagai pencerita yang terbatas haknya untuk bercerita (hanya menceritakan apa yang dilihatnya).
7.    Gaya bahasa
                Gaya bahasa adalah teknik pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya menghasilkan karya sastra yang hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus didukung oleh diksi yang tepat. Gaya bahasa merupakan pengungkapan yang khas bagi setiap pengarang. Gaya bahasa ini dapat menciptakan suasana yang berbeda-beda seperti berterus terang, satiris, simpatik, menjengkelkan, emosinal dan lainnya.
8.    Motif
            Motif dalam hal ini ialah unsur-unsur suatu cerita yaitu unsur dari cerita yang menonjol dan tidak biasa sifatnya. Unsur itu tidak dapat berupa benda, hewan, suatu perbuatan, penipuan terhadap suatu tokoh atau bersifat tertentu.




D. Cerita Rakyat Kota Lubuklinggau
            Cerita rakyat pada dasarnya ialah bagian dari folklor lisan berbentuk prosa yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat. Adapun penyebaran cerita rakyat pada umumnya bersifat tradisional yakni disebar secara lisan dan mengandung banyak kata-kata klise. Cerita rakyat tumbuh dan berkembang serta menyebar secara lisan dan diwariskan turun temurun pada satu generasi ke generasi lain sehingga cerita rakyat tersebut diakui milik bersama dan menjadi identitas suatu generasi di satu wilayah.
            Cerita rakyat biasanya berisi tentang kisah orang-orang sakti, hal-hal yang mistis, di luar logika, atau cerita tentang asal-usul tempat atau daerah. Cerita rakyat dikenal pula dengan istilah oral literature. Menurut Musfiroh (Juwati, 2018:35) cerita rakyat ialah bagian dari sastra lisan yang berhubungan dengan lingkungan, baik lingkungan masyarakat maupun alam. Cerita ini biasanya mempengaruhi perilaku, sehingga dapat dijadikan cerminan kebudayaan atau cita-cita suatu masyarakat. Cerita rakyat dapat pula diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berkaitan langsung dengan berbagai aspek budaya dan tatanan nilai sosial suatu masyarakat. Cerita rakyat dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu mite, legenda, dan dongeng.
1. Mite
            Mite adalah prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Pada umumnya, mite mengisahkan tentang terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk tipografi, gejala alam, dan sebagainya. Mite juga mengisahkan petualangan para dewa dan seluk beluknya. Adapun mite di Indonesia biasanya menceritakan  terjadinya alam semesta, dunia dewata, susunan para dewa, tokoh pembawa kebudayaan dan sebagainya. Mite selalu dipercayai oleh masyarakat dari generasi ke generasi meskipun isi mite ini terkadang di luar jangkauan norma dan tidak logis. Keberadaan mite berguna bagi kehidupan manusia secara lahir maupun batin, serta mengandung nilai-nilai tertentu yang memberi pedoman bagi kehidupan manusia.
            Terbentuknya mite bermula dari pikiran manusia yang tidak mau menerima begitu saja fonemena alam yang ditangkap dengan akal dan panca inderanya. Penghormatan kepada leluhur, kepercayaan kepada pohon kehidupan, kekaguman pada keteraturan tata surya dapat menjadi awal lahirnya mite. Demikian juga mite yang ada di Lubuklinggau dan Musi Rawas, mite yang ada di daerah ini dikelompokkan dalam sebuah cerita mite berjudul Silampari. (Juwati, 2018:37).
     Berikut ini contoh mite yang ada di Kota Lubuklinggau

TANJUNG KERAMAT
Narasumber : Abdul Rahman bin Abu Hasan

Di tengah sungai Muara Rupit terdapat sebuah tanjung, yang kini dikenal dengan Tanjung Keramat. Tempat diapit oleh dua buah sungai. Sebelah kanan oleh Sungai Batang Hari Rawas dan sebelah kiri oleh Sungai Batang Hari Rupit. Konon kisahnya, di ujung Tanjung ini dulunya merupakan sebuah dusun tua daerah Muara Rupit, yang terletak di sebelah ilir Ujung, dan mengapa kemudian pindah ke Lawang Agung dan Dusun Muara Rupit, yang terletak di sebelah ilir ujung? Dan mengapa juga kemudian tanjungan tersebut dinamakan Tanjung Keramat?
Konon kisahnya, di tanjung ini dimakamkam lima orang pejuang bangsa, yaitu: 1) Datuk Ketol Walyawah; 2) Demang Pengawat; 3) Demang Tangso; 4) Puyung Kerabu; 5) Kyai Mahalapan (dari Komering). Dari lima orang ini yang empat orang adalah para pendatang dari pulau Jawa, yang pada akhirnya, beliau inilah yang menjadi cikal bakal orang Muara Rupit. Sedangkan Kyai Mahalapan adalah sahabat seperjuangan dari keempat nenek Moyang Muara Rupit tersebut. Kyai Mahalapan meninggal di Ujung Tanjung seusai mengadakan musyawarah bersama Datuk Ketol dan orang-orang kepercayaannya di Ujung Tanjung, Kyai Mahalapan, berasal dari Komering.
Datuk Ketol, Demang Pengawat, Demang Tangso, dan Puyung Kerabu adalah para ahli siasat perang. Benteng pertahanannya di sebuah hutan di Tanjung Muara Sungai Rupit (pada waktu itu belum berpenghuni). Lama mereka hidup di sana, sampai kemudian menurunkan beberapa keturunan yang kini menjadi orang-orang Muara Rupit. Dan ketika itu kepemimpinan dusun dan pen'uangan dipegang oleh Datuk Ketol dengan dibantu oleh Demang Pengawat, Demang Tangso, dan Puyang Kerabu.
Sebagai pejuang yang tangguh, di samping ahli strategi, mereka juga memiliki ilmu ketangkasan yang luar biasa dalam berperang, sehingga selalu lolos dari sasaran peluru musuh. Dan yang lebih penting Iagi. mereka memiliki dasar iman yang kuat, sehingga kepasrahan pada Yang Maha Kuasa menjadi penguat dan pondasi dalam perjuangannya.
Sehingga pada akhir hayatnya, berturut-turut Datuk Ketol, Demang Pengawat, Demang Tangso, dan Puyang Kerabu. Semuanya meninggal lantaran batas usia yang telah digariskan. Sebelum meninggal Demang Ketol berpesan “Kelak bila dirinya meninggal dunia minta dimakamkan di Tanjung Muara Rupit”. Sehingga ada kepercayaan orang Muara Rupit sampai sekarang dusunnya senantiasa dijaga oleh Datuk Ketol.
Suatu ketika tak berselang lama semenjak para tokoh pejuang itu meninggal di daerah Ujung Tanjung (Muara Rupit) tertimpa mala petaka, yaitu munculnya hantu air menjelma anak-anak untuk mandi di sungai dan akhimya anak tersebut tak pernah kembali lagi. Sering anak-anak yang hilang ditemukan telah menjadi mayat terapung di sungai.
Kejadian tragis itu berlangsung lama. Hingga suatu ketika, timbul suatu keyakinan warga dusun. “ini merupakan wujud dan para arwah nenek moyang karena makam mereka dibelakangi”. Maka disepakatlah memindahkan dusun di ilir Ujung Tanjung. Pertama-tama ke Dusun Lawang Agung (sekarang) yang sekarang menjadi pengembangan desa, mereka mendirikan dusun baru (sekarang menjadi Muara Rupit). Setelah pindah dusun ternyata benar, hantu air ini tak pernah berkeliaran Iagi.
Itulah sebabnya, tanjungan yang ada di Muara Sungai Rupit disebut Tanjung Keramat karena di sana dimakamkan Iima orang pejuang yang kita hormati. Dan oleh sebab itulah dusun tua Muara Rupit (dulu Ujung Tanjung) pindah ke Lawang Agung dan dusun Muara Rupit yang terletak di ilir Ujung Lawang.
Konon ceritanya, sampai sekarang Tanjung Keramat sering didatangi orang-orang sebagai perantara untuk memohon suatu. Namun, satu yang tidak boleh dilakukan di sana adalah meminta sesuatu yang buruk. Karena hal itu tidak akan pernah terkabul, bahkan mala petaka yang akan menimpa diri peminta, misalnya ia tenggelam di Sungai Rawas atau di Sungai Muara Rupit dalam perjalanan pulang.


2. Dongeng
            Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng juga dapat dikatakan sebagai cerita fiktif yang tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Jadi. Dongeng dapat diartikan sebagai cerita pendek kolektif kesusateraan lisan. Dongeng bersifat khayal yang tidak mungkin terjadi dalam kenyataan. Biasanya, dongeng memuat pelajaran (moral), hiburan, bahkan sindiran. Dongeng biasanya mempunyai kalimat pembuka dan penutup yang sifatnya klise. Adapun untuk dongeng yang ada di Lubuklinggau dan Musi Rawas, yaitu dongeng Si Amang dan Si Wewe, Putri Berias, Putri Sariwangi Tanjung dan Sungai Beras, Perempuan Tua Dalam Labu, Batu Tangkup, serta Sangsat dan Sangsit.

BATU TANGKUP
Narasumber: Koim

Jaman bilek, di sebuah talang idoplah keluarge hare. Keluarge tu ade due anak tine yang gese kecik-kecik, yang pisat gese nyusu. Bak anak tu idop bekebon. Waktu senggang , ye berburu ruse di hutan. Di sampeng tu juge agam nakap belalang di hawah untuk dimakan apabile dak dapat ole binatang ruse, buruan utame a. Waktu aghai, bak a kak lalu beburu dan balek  e ngunde belalang ruse. Pas tu mak a dang col di umah. Laju ditunu belalang ruse dan dimakan oleh wang tige banak enggot abes.
Dak lame tu mak a balek. Kedue anak a becerite asel bak a beburu yang dem abes dimakan rombongan tu be. Pas tu mak e merajuk karne nganggap bak a dapat buruan ruse, ngape dak ninggal yang ye sedikitpun. Ditulak rase kesal, make pas homi e belek dan anak a yang dang tido berekatlah mak a ke Batu Tangkup. Batu beso yang dikenal nelan hape be yang nak endak dijadikan korban.  
Lom hapai mak a ke batu tangkup, anak sulung a tejege karne nengo nyolong adek a. Dan tekejot pas ye tau mak a col di umah. Laju di ambeklah adek a notot mak a sambel nyolong “mak....mak...aduh....mak tati dak ai adek lapo, ndak makan". Omongan tu diulang-ulang sepanjang jelan hinde nyolong sampe mak a nengo. Dem tu mak a berenti menyusui anak a. Karne kepesetan, anak sulung a tetido, cak tu juge ngen anak pisat a yang disusui tetido juge. Make dipek’a si pisat di sampeng koyong a yang dang tetido. Dem tu, mak a melanjotkan gi perjalanan ke Batu Tangkup.



Belum hapai gi. anak sulung e tejege gi. Gecang-gecang ye ngambek adek a dan terus ngikot mak a lalu. Hapailah ke si mak Batu Tangkup, dem tu ye nyanyi dan bekate “betu belah betu betakup, ia detenag janji kite ale bilek”, nyanyian tu teros di ulang-ulang hapai batu tu tebukak masoklah si mak ke delam batu. Pelan-pelan batu tu notop gi bersame dengan tu pule. Kedue anak a hapai di hitu. Si anak meghik meghik nyolong sejedi-jedia, dan hujan badai yang tibe-tibe mengamok milu nyingok kejadian tu, batu tangkup dem nelan manusie
Mekak ujan badai edu reda, kedue anak tu dengan ati yang sedlh Cuma bise nyingok Batu Tangkup dan rambot mak a yang gese tesise yang dak tetelan abes oleh batu ajaib tu. Dem tu di ambek a 7 helai rambot mak a dan dipenyap a di ojong kaen ambenan adek a. Dem tu berekat due badik tu dengan ngunde duke, bejelelan col arah tujuan. Enggot hapailah ye bedue di talang yang makmur, benyak tanaman, dengan pondok yang padek dan rapih. Masokla due badek tu ke delam a.
Petang aghai yang nuan kebon dan pondok tu belek. Rupea adelah wang lanang yang tinggi beso dan mekan seram, meanukotkan, ye bename Tang Kapo. Tang Kapo ade keanehan, yaitu sering ngomong ewek, ye juge bepesan ngen ayam jago a pas ye nak tido “men ku iam bebrarti ku lom tido, tapi men ku ngomong brarti ku la tido". Nengo gek tu gecang-gecang due badik tadi masak ayo., Besamean dengan ayo mendidih Tang Kapo la telelap tido make gecang gecang ye nyiram ayo mendidih ke awak Tang Kapo hapai akher a matilah ye.
lsok a, budak-budak tu nanam rambot mak a disampeng pondok dan nyapak mayat Tang Kapo ke hungai. Aneh, berepe hari dem tu, di tempat ye nanam rambot mak a tomboh sebetang pohon labu. Maken hari maken sobor dan aneh a lagi berbuah Cuma hikok tapi beso nia. Pas saat untuk dipetik. Pas pule anak a nak ngupas dan ndak melah a, tibe-tibe tedengo suare di delam labu “jengan kuat-kuat nak, nilek tekene palak mak" suare tu persis ugek suare mak a.
Berulang hal gek tu dilakukan, berulanag pule suare tu bekate. Karne di tulak rase penasaran, make dengan berhati-hati niaa anak tu melah buah labu tu. Alangkah senang a, rupea beno di delam labu beso tu ade mak a. Rupea mak a gese idop. Merka dem tu tinggal dan idop bahagia di talang hak Tang Kapo bilek.
Waktu aghai malam yang gelap gulita, tepat a tengah malam, si mak yang ternyate ade kesaktian kame akibat masok ke Batu Tangkup, memohon dengan para dewa supaya talang tempat tinggal a depat dijadikan sebuah negri. Ternyate permohonan tu didengo dan diterime para dewa. Dan selame tojoh malam situuasi di talang tu bising nya banyak suare wang-wang yang dang mangun umah. Ternyate memang beno, isok a pas siang nyelang keajaipan pun tejedi. Talang tu berubah jedi negri yang rami, subur, dan makmur.
Edu betaun dak terase, kedue anak dari mak yang masok Batu Tangkup, mekak dem jedi gades yang alap, bukan Cuma alap meghan e be tapi juga sifat a. Singkat ceritea kedue gadis tu jedi bunge negri. Sampai suatu aghai kealapan meghan dan sifat gadis tu tedengo ke telinge pangeran hebrang lautan. Pangeran ngirim utusan untuk meminang halah hatu gades yang tertua. Tentu dengan dengan senang ati, si mak nerime pinangan tu. Dak lame dem tu mereka menikah dan idop bahagia. (Sumber: Swandi Syam Pemerhati dan Sejarawan Kata Lubuklinggau dan Musirawas)
Terjemahan:
Alkisah pada zaman dahulu kala, di sebuah talang hiduplah keluarga miskin. Keluarga itu mempunyai dua orang anak perempuan yang masih kecil-kecil, yang kecil masih menyusu. Ayah kedua anak itu hidup sebagai petani. Pada waktu senggangnya, ia selalu berburu rusa di hutan. Di samping itu ia juga senang menangkap belalang di sawah untuk dimakan apabila tidak berhasil memperoleh binatang rusa, buruan utamanya.
Pada suatu hari, si ayah pergi berburu dan pulang membawa belalang rusa. Ketika itu si ibu sedang tidak ada di rumah. Lalu dibakarlah belalang rusa itu dan dimakan oleh tiga beranak hingga habis. Tak lama kemudian ibunya pulang, Kedua anaknya lantas bercerita tentang basil buruan ayahnya yang telah habis dimakan mereka bertiga. Seketika itu ibu merajuk karena beranggapan si ayah mendapat human rusa, mengapa ia tidak ditinggal Barang Sedikitpun. Didorong oleh rasa kesalnya, maka ketika suami dan anaknya sedang tidur, pergilah 91 [ha menuju Batu Tangkup. Batu besar yang dikenal dapat menelan siapa saja yang bersedia untuk dijadikan korban.
Belum sampai ibunya sampai di batu tangkup, anaknya yang tertua terbangun karena mendengar tangis adiknya, dan terkejut bila diketahui ibunya tidak ada di rumah. Lalu digendonglah adiknya mencari ibunya sambil meratap dan menangis “mak....mak.,,aduh,,,.mak tat! dak ai adek lapo, ndak makan". Yang artinya lbu....ibu aduh...ibu tunggu dulu adik lapar”. Ratapan itu diulang ulang sepanjang jalan sambil menangis hingga terdengarlah oleh si ibu. Si ibu kemudian berhenti untuk menyusui anaknya. Karena keletihan yang amat sangat, anaknya yang tertua lantas tertidur, juga anak yang telah disusui, maka diletakkanlah si kecil di samping kakaknya yang sedang tertidur. Sementara itu, ibunya melanjutkan kembali perjalanannya menuju Batu Tangkup.
Belum lagi sampai, lagi-lagi anaknya yang tertua terbangun. Cepat-cepat ia menggendong adiknya dan terus mengikuti langkahlangkah ibunya pergi. Sampailah kemudian si ibu di Batu Tangkup, lalu ia bernyanyi atau berandai-andai dengan kata yang keramat “beat belah betu betakup, ia detenag janji kite ale bilek”, yang artinya “batu belah batu betangkup, sudah tiba janji kita kala dahulu". Kata-kata itu dinyanyikan berulang-ulang dengan lirih sekali oleh si ibu. Perlahanlahan batu itu terbuka dan masuklah si ibu ke dalamnya. Perlahanlahan pulalah batu itu menutup kembali. Bersamaan dengan itu pula. Kedua anaknya pun sampailah di situ. Tak ayal lagi jerit tangis anak‘ anak itu sejadinya, dan hujan badai yang tiba-tiba mengamuk ikut menyaksikan peristiwa itu, batu tangkup telah menelan manusia.
Kini hujan badai telah reda, kedua anak itu dengan hati yang amat sedih hanya dapat memandangi Batu Tangkup dan rambut ibunya yang masih tersisa yang tidak tertelan habis oleh batu ajaib itu. Kemudian diambilnya 7 helai rambut ibunya dan disimpannya di ujung kain gendongan adiknya. Lalu pergilah dua beradik dengan membawa duka, berjalan tanpa tahu arah tujuan. Hingga sampailah mereka disalah satu talang yang amat subur, penuh tanaman beraneka ragam, dengan sebuah pondok yang bagus dan tertata rapi. Masuklah kakak beradik itu ke dalamnya.
Sore harinya pemilik kebun dan pondok itu kembali. Rupanya adalah seorang laki-laki yang tinggi besar dan memiliki wajah yang seram, menakutkan, ia bernama Tang Kapo. Tang Kapo memiliki keanehan, yaitu sering bercakap-cakap sendiri, ia juga memiliki binatang piaraan kesayangan, yaitu seekor ayam jago. Ketika ia hendak tidur. ia berpesan pada ayam iagonya “bila aku diam beral‘ti aku belum tidur, namun jika aku berbicara berarti aku sudah tidur”.
Mendengar hal itu, cepat-cepat anak dua beradik tadi memasak air. Bersamaan dengan air mendidih, Tang Kapo sudah terlelap tidur. Maka segeralah tubuh Tang Kapo disiram dengan air mendidih hingga akhirnya matilah ia.
Keesokan harinya, anak-anak itu menanam rambut ibunya di samping pondok dan membuang mayat Tang Kapo ke sungai. Aneh, beberapa hari kemudian, di tempat ia menanam rambut ibunya tumbuh sebatang pohon labu. Semakin hari semakin subur dan anehnya lagi berbuah hanya satu namun teramat besamya. Hingga sampailah saatnya untuk dipetik. Ketika anak itu mengupas dan mau membelahnya, tiba-tiba terdengar suara dari dalam labu “jangan kuatkuat nak, nanti terkena kepala ibu” suara itu persis suara ibunya.
Berulang hal itu dilakukan, berulang pula suara itu memperingatkan. Karena didorong oleh rasa penasaran, maka dengan hati-hati sekali anak itu membelah buah labu itu. Alangkah bahagianya, rupanya benar di dalam labu raksasa itu ada ibunya. ‘ Rupanya ibunya masih hidup. Mereka kemudian tinggal dan hidup bahagia di talang milik Tang Kapo dulu.
Pada suatu malam yang gelap gulita, tepatnya tengah malam, 3i ibu yang ternyata telah memiliki kesaktian akibat masuk ke Batu Tangkup, memohon pada para dewa agar talang tempat mereka tinggal dapat dijadikan sebuah negeri. Ternyata permohonan itu didengar dan diterima para dewa. Dan selama tujuh malam situasi di talang itu menjadi gelap gulita dan amat mencekam. Pada malam yang ketujuh, barulah terdengar hiruk pikuk ramai sekali seperti banyak suara orang-orang yang sedang membangun rumah. Ternyata memang benar, keesokan harinya ketika siang menjelang keajaiban pun terjadi. Talang tersebut telah berubah menjadi negeri yang ramai, subur dan makmur.
Setelah bertahun tak terasa, kedua anak dari ibu yang masuk Batu Tangkup, kini telah menjadi gadis yang amat cantik dan elok. bukan hanya rupanya namun juga pribadinya. Singkatnya kedua gadis itu menjadi Bunga negeri. Hingga pada suatu hari, keelokan wajah dan pribadi gadis tersebut sampai terdengar di telinga pangeran seberang lautan. Pangeran lalu mengirim utusan untuk meminang salah satu gadis yang tertua. Tentu dengan senang hati, si ibu kemudian menerima pinangan tersebut. Tak lama setelah itu mereka kemudian menikah dan hidup bahagia.








c. Legenda
            Legenda adalah cerita-cerita yang oleh masyarakat mempunyai cerita dianggap sebagai peristiwa sejarah. Itulah sebabnya, legenda dikatakan sebaga sejarah rakyat. Legenda dapat  digolongkan menjadi empat kelompok yaitu, legenda keagamaan, legenda alam ghaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat. Berikut ini adalah contoh legenda yang ada di Lubuklinggau:
BUTE PURU
Narasumber : H.M. Sani Tusin
Je a kisah, jaman bilek ade dusun tue yang dipek name Sriwijaya yang dipepen oleh wang gegah perkasa. Kerne wilayah kekuasan a beso, oleh sebab tu lah ye disebot Raje. Raje ade tojoh anak lanang, yang pisat name a Bute Puru, halaen bute ye juge ade penyaket kolet "puru" di segale awak a.
Sewaktu aghai, raje bepeker tentang calon gitai yang nak neros kekuaasaan a sebagai raje. Dipanggellah ketojoh anak lanang a untuk menghadap. Raje bekate, “ hape diantara ponga yang sanggop jadi raje?". Gele-gelea hanggop dan endak gele jedi raje. Raje pun jedi bingung, men nak nyingok atoran adat a, bahwa seorang raje harus ade karisma dan jiwa mempen. Dan ciri tu ade ngan anam pisat a, tapi ape mungken seorang raje bute dan penyaketan.
Keenam debedek Bute Puru sadar, kalu yang pas gitai bak a sebagai raje jelas adalah adek pisat a yaitu Bute Puru, karne ye nuan ciri ugek delam kitab undang-undang negri. Make waktu aghai sacare honyen, keenam debedek Bute puru bekopol dan berondeng untuk mono Bute Puru dan kitab undang-undang negri
Hapailah maso yang lah ditentu, waktu bak a lalu kunjungan ke wilayah bagian, diajaklah Bute Puru bemaen di pengger hungai. Hapai di hitu keenam debedak a harepak ngakat Bute Puru dan nyapak ke hungai besame dengan kitab undangundang negri. Tapi berkat kekuasaan Tuhan, Bute Puru terdampar di pengger sungai dengan selamat.
Waktu aghai raje ngompol ketojoh anak a dan pelayan raje, kemudian raje betanye “ hape yang sesuai jedi raje?’. Pelayan raje nyawap “bukak be kitab undang-undang negri karne dihitu ade segale ketentuan peraturan kerajaan". Dem tu raje nita hulu balang untuk ngambek kitab undang-undang yang ternyate col gi di tapan 3. Dan waktu tunla raje menyadari bahwa anak yang hader dak lengkap. Raje betanye " dimane adek pisat?’ keenak debedek a nyawap “apom bak. Bute Puru berekat berepe aghai yang lalu. Dan dem kami totot col asel a". “ laju dimane kitab undang-undang?:. Tanye raje selanjot a “ ami dak tau”. Tapi kemudian raje mendapat laporan dari rakyat e yang dak saje nyingok kitab undang-undang dicapak, tapi daktau hape pelakua karne waktu tu pelakua makai penotop meghan. Raje nita anak a notot kitab undang-undang delam sungai, namun col asel a.
Mekak kite nyingok naseb Bute Puru selanjot a. Bute Puru yang malang hedang di bewah batang beso dan raye dang bededu. Tanpa sadar ye tetido. Kebetulan malam tu adelah bulan purnama. Waktu malam tu toghonlah tojoh dewa yang dipepen oleh dewa Sang Hyang Tunggal untuk berondeng di pocok betang tapan ye bededu.
Delam omongan tu Dewa Sang Hyang Tunggal bekate bahwa calon gitai raje Sriwijaya adelah Bute Puru. Dewa yang laen asek dak caye, karne Bute Puru bute dan penyaketan. Dewa Sang Hyang bekate “kalu Bute Puru mandi di tapan para dewa mandi, make bute dan segale penyaket a bede". Segale omongan para Dewa tu di dengo oleh Bute Puru.
Isok a, Bute puru sambel meraba-raba berusaha bejelan untuk mencari dimane telage tu berade dak kena] peset. Sampai dak saje Bute Puru teposok dan tecebor ke delam kambangan yang ternyate tu adelah telage yang dimaksud. Terjedi keajaiban, pertame ye acak nyingok dan disosol dengan ngelupas a segale panu a, laju mekak kenyingokan a wang bersih dan belagak. Dak berenti reti ye hojod dan bersyokor.
Dem tu Bute Puru teringat nak belek ke dusuna, dengan susah payah ye teros bejelan notot arah nak ke doson a. Akhera hapaila pada sebuah dusun dan temyate tu doson a ewek. Bute Puru nyingok dipengger hungai benyak wang bekopol, dem tu ye bekate “ namehal kak?"col ade wang kenal ngen ye “ami dang maceng dan mencari kitab undang-undang yang mapos tecapak di delam hungai". Laaju Bute minta ijin untuk milu nyaria.
Waktu ye milu maceng. pacemg a nyakot di desar hungai, makea ye nyebor nak nyingok name yang tekaet di paceng a. Pas la hapai di desar hungai, tekejotlh Bute Puru kare dijingok a di desar hungai ade semacam gua. Dengan hati-hati Bute Puru melongok ke gua “aneh” peker a. Di delam gua kak ugek ade yang nunggu. Lom dem rase heran a, tibe-tibe dikejotkan oleh tegoran gadis alap. Sesat ye due haleng tatap. Dihate kedue timbul perasaan haleng ndak.
Dak lame Bute Puru Tesadar dan mitek maaf, ye mnejelaskan kedetangan ye kitu. Ye bedue haleng kenalan, gades alap tu namea Temiang. Temiang senyum, dan bekate, ye menjelaskan bahwa berepe waktu lalu ye nemu kitab tu yang tecapak di hitu. Nsmun lom hepat ye nonjokan kitab tu, Temiang sadar bahwa harang gi bak a belek ( Naga Raya yaitu ular besar) . make untuk nyelamtkan Bute Puru, Temiang ngubah wujud a Bute Puru jedi bunge dan dipek a di delam torak.
Sesampai bak a Tamiang (nage beso) masih tecium mbau manusie , bah e betnaye, kame Taming dem telanjor cinta ngen Bute Puru. Ye berusaha ngawe bak a, tapi bak a tetap notot untuk dimangsaha. Akhera Tamiang ngaku dan memohon ngen bak a supaya jengan ngucak Bute Puru na dem tu wujud a di balek a ke semula.
Dem tu Bute Puru balek ke wojod manusie.. Temiang dem tu cerite maksod dan tujuan Bute Puru hapai ke desa hungai. Bak Tamiang memaklumi dan cepat nyoroh Bute Puru balek ke doson a ngunde kitak yang isia kitab undang undang dan Tamiang. Nagraya bepesan “untuk mukak kotak tu ade mantra yang harus nga bace dan nga apal mantra tu yang berbunyi:
Berdenting aban terbuka
Aban terbuka berisi undang-undang negaraya
Unang kapiten Anda kapitu
Temiang anak nagaraya
 Dem nengo pesan Nageraye, Bute Puru balek ke pocok ngikot tali paceng. Alangka senang a raje dan segale wang yang nyingok a ningok Bute puru moncol dan selamat ngunde kotak di tangan a. Langsong raje nita keenak anak lanang a mukak kotak tu, namun col yang acak a. Akher a raje nyoroh Bute Puruh mukak a. Dengan nyebot mantra yang diajo nageraye laju kotak tu acak dibukak, moncolah sang delam kotak gadis alap mempesona yaitu Tamiang dengan megang kitab undangundang yang pernah mapos.
Pas dibukak kitab undang-undang tekejotlah raje, ternyate budak lanang yang ade depan ye tu adelah anak pisat a. Bute Puru, dan dijelaskan pule delam kitab tu Bute Purulah calon tunggal gitai raje, pa la jelas segela, langsong rombongan tu balek ke istana dan meresmikan pernikahan Bute Puru dengan Temiang karne Bute Purulah yang paleng ade ha untuk minang Temiang. Make dilangsongkan penobatan Bute Puru sebagai raje dengan meriah.
Terjemahan:
Konon kisahnya, pada jaman dahulu kala tersebutlah sebuah dusun tua yang diberi nama Sriwijaya yang dipimpin oleh seorang gagah perkasa. Karena wilayah kekuasannya luas, maka disebut Raja. Raja memiliki tujuh orang putra, yang paling bungsu bernama Bute Puru, sebab selain buta juga memiliki sebuah penyakit kulit “puru” di seluruh badannya.
Suatu hari, raja berpikir tentang calon pengganti yang akan meneruskan kekuasaannya sebagai raja. Dipanggillah ketujuh putranya menghadap. Raja bersabda, “siapa di antara kalian semua yang sanggup dan berkehendak menjadi raja?”. Semuanya sanggup dan bersedia menjadi raja. Raja pun jadi bingung, jika dilihat dari perundang-undangan negeri, bahwa seorang raja harus memiliki karisma dan jiwa kepemimpinan. Kitab undang-undang di dalam sungai, namun hasilnya pun sia-sia.
Sekarang kita lihat nasib Bute Puru selanjutnya. Bute Puru yang malang sedang di bawah pohon besar dan rindang sedang beristirahat. Tanpa sadar ia pun tertidur, kebetulan malam itu adalah malam bulan purnama. Pada malam itu turunlah tujuh dewa yang dipimpin oleh Dewa Sang Hyang Tunggal untuk mengadakan musyawarah di atas pohon tempat ia beristirahat.
Dalam percakapan itu, Dewa Sang Hyang Tunggal berkata bahwa calon pengganti raja Sriwijaya adalah Bute Puru. Dewa yang lain tak percaya, karena Bute Puru buta dan berpenyakitan. Dewa Sang Hyang Tunggal berkata “Jika Bute Puru mandi di tempat para dewa mandi, maka buta dan semua penyakitnya akan sembuh". Semua percakapan para Dewa tersebut dengan saksama didengar oleh Bute Puru.
Keesokan harinya, Bute Puru sambil meraba-raba berusaha berjalan untuk mencari di mana telaga itu berada tanpa kenal lelah. Hingga tanpa sengaja Bute Puru terperosok dan terjebur ke dalam sebuah kambangan yang ternyata itu adalah telaga yang dimaksud. Keajaiban terjadi, pertama ia bisa melihat dan disusul dengan mengelupasnya satu persatu panunya, sekarang nampaknya sesosok pemuda yang bersih dan tampan. Tiada henti-hentinya Bute Puru bersujud dan bersyukur.
Sesaat kemudian Bute Puru teringat untuk pulang ke dusunnya, dengan susah payah terus berjalan mencari kemana arah dusunnya. Hingga sampailah pada sebuah dusun dan ternyata itu kampung halamannya. Bute Puru melihat di tepian sungai banyak sekali orang berkumpul, kemudian ia berkata “ada apakah gerangan yang terjadi?” tanpa ada seorang pun yang mengenalinya “kami sedang memancing dan mencari kitab undang-undang yang hilang tercampak di dalam sungai” lalu
Bute Puru meminta izin untuk ikut mencarinya. Ketika ia ikut memancing, tiba-tiba pancingnya terkait suatu benda di dasar sungai, maka mencebur ke sungai untuk melihat benda apakah yang mengait kailnya. Setelah sampai di dasar sungai, terkejutlah Bute Puru karena dilihatnya di dasar sungai ada semacam goa dan tali pancingnya ternyata bukan tersangkut tetapi seperti dikaitkan ke dinding goa. Dengan penuh waspada Bute Puru melongok ke goa “aneh” pikirnya, di dalam goa ini sepertinya ada yang menempati. Belum sudah rasa keheranannya, tiba-tiba dikejutkan oleh tegur sapa seorang gadis yang berparas elok Sesaat mereka saling pandang. Di hati keduanya timbul perasaan saling tertarik.
Tak lama Bute Puru segera tersadar dan mengucapkan maaf, ia kemudian menjelaskan tujuan kedatangannya kemari. Mereka pun saling berkenalan, gadis nan elok itu bernama “Temiang”. Temiang senyum, lalu menjelaskan bahwa beberapa waktu yang lalu ia menemukan kitab undang-undang yang tercampak kemari. Namun belum sempat ia rrienunjukkan kitab tersebut, Temiang segera ingat bahwa sesaat lagi ayahnya “seekor ular naga besar” (sehingga diberi nama Naga Raya) akan pulang. Maka untuk menyelamatkan Bute Puru, Temiang membah wujud Bute Puru menjadi sekuntum bunga dan diletakkan di dalam sebuah torak (semacam tempat untuk menenun).
Sesampainya ayah Temiang (naga besar) masih saja tercium hawa manusia. Ayahnya lantas bertanya, karena Temiang sudah terlanjur jatuh hati kepada Bute Puru ia berusaha membohongi ayahnya, namun ayahnya tetap berusaha mencarinya untuk dimangsanya. Akhimya, Temiang mengakui dan memohon pada ayahnya agar jangan mengganggunya. Bute Puru kemudian dikembalikan pada wujud semula. Setelah Bute Puru kembali menjadi wujud manusia. Temiang kemudian menceritakan maksud dan tujuan Bute Puru sampai ke dasar sungai. Ayah Temiang memahami dan segera menyuruh Bute Puru kembali ke dusunnya dengan membawa sebuah kotak yang berisi kitab undang-undang dan Temiang. Nagaraya berpesan “untuk membuka kotak tersebut ada sebait mantera yang harus diucapkan dan dihafalkan. Mantera tersebut berbunyi"
Berdenting aban terbuka
Aban terbuka berisi undang-undang negaraya
Unang kapiten Anda kapitu
Temiang anak nagaraya

Setelah mendengar pesan dari Nagaraya, Bute Puru kembali meluncur ke atas mengikuti tali pancing. Betapa bahagianya sang raja dan seluruh yang menyaksikan Bute Puru telah muncul dan selamat dengan membawa serta kotak di tangannya. Segera sang raja memerintahkan pada keenam putranya untuk membuka kotak itu, namun tak satu pun yang sanggup melakukannya. Akhirnya sang raja menyuruh Bute Puru untuk membukanya. Dengan mengucapkan mantera yang diajarkan Nagaraya, maka seketika kotak tersebut terbuka dengan sendirinya dan betapa terkejut seluruh yang melihatnya, karena bersamaan dengan terbukanya kotak itu, muncul dari dalam kotak seorang dara cantik nan mempesona yang tak lain adalah Temiang dengan sebuah undang-undang yang pernah hilang.
     Ketika dibuka kitab undang-undang, maka terkejutlah raja, ternyata pemuda yang ada di hadapannya adalah putranya sendiri, Bute Puru. Dan dijelaskan pula dalam kitab undangundang Bute Purulah merupakan calon tunggal pengganti raja. Setelah jelas semuanya, segera mereka kembali ke istana dan meresmikan pernikahan Bute Puru dengan Temiang. karena Bute Purulah yang paling berhak untuk memiliki Temiang. Maka segeralah acara penobatan Bute Puru sebagai raja dilangsungkan dengan meriah.

Daftar Cerita-cerita Rakyat Kota Lubuklinggau
Judul Cerita Rakyat
Narasumber
Asal-Usul Muara Kati
Marsal bin Gilang
Asal-Usul Tari Silampari
Marsal bin Gilang
Bujang Selawe
Hanut Sirun
Asl-Usul Jaya Loka
Sugiono
Kerajaan Lubuk Penjage Bengkal
Imam Teguh
Mendoa
Uju Saidi
Perempuan Tua Dalam Labu
Uju Saidi
Moneng
Karno
Asal-Usul Taba Pingin
H.A. Bakri
Moneng Sepati
Agusron
Asal-Usul Batu Urip
H. Arpan Abdullah
Raja Biku
Hasan Saidi
Silampari
Koim
Sangsat dan Sangsit
Hasan Nandai
Batu Tangkup
Koim
Selangit
H.M. Sani Tusin
Muncar Selangit
Rakembang bin Slamet Umar
Putri Berias
Abdul Wahap
Bute Puru
H.M. Sani Tusin
Putri Sari Wangi Tanjung dan SB
Abdul Muluk
Misteri Danau Raya
Fatimah
Tanjung Keramat
Abdul Rahman bin Abu Hasan
Si Amang dan Si Wewe
Abdul Rahman bin Abu Hasan
Ke                    ramat Bukit Ngonang
A. Zawawi Akib
Lesung Batu
B. H. Abdul Hamid




E. Sastra Lisan dan Filologi Lisan
            Istilah filologi lisan tentu saja sangat mengejutkan, sebab biasanya istilah ini selalu dikaitkan dengan teks-teks atau naskah kuno yang tertulis. Sastra lisan (folklor) itu sebagai lifely fossil which refuses, maka teks-teks sastra lisan yang lebih tepat disebut teks lisan, juga mengandung “kekunoan” disamping “kekinian”. Disamping itu, yang pasti adalah sebuah teks lisan (yakni setelah ditranskripkan ke tulisan) dapat dianalisis seperti halnya tek tertulis. Dari hasil analisis itu akan mendapatkan perkembangan kerohanian suatu bangsa.



























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Folklor ialah bagian kebudayaan yang pada dasarnya disebar secara lisan sebagai milik bersama, folklor ini merupakan warisan dari nenek moyang diwariskan secara turun temurun. Secara umum, ciri sastra lisan yang tersebar di masyarakat umum yakni banyak mngungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise dan sering bersifat menggurui. Ciri-ciri sastra lisan, yaitu:
1.    Lahir dari masyarakat yang polos.
2.    Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu yang tak jelas siapa penciptanya.
3.    Menekankan pada aspek khayalan, ada sindirian, jenaka, dan pesan yang mendidik.
4.    Melukiskan tradisi tertentu.
5.    Anonim.
6.    Milik bersama suatu kolektif.
7.    Diwariskan secara lisan.
8.    Diwariskan dalam rentang waktu yang lama.
9.    Eksis dalam versi dan varian.
10.    Terdapat unsur interpolasi.
11.    Spontan.
12.    Ada proyeksi keinginan.
13.    Menggunakan kalimat klise.
                Sastra lisan menurut Sukamto (Juwati, 2018:24) dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu sastra bukan lisan, sastra setengah lisan dan sastra lisan.  fungsi sastra lisan dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu didaktis, sebagai pelipur lara, sebagai bentuk protes sosial yang berisikan penolakan-penolakan masyarakat atas aturan-aturan yang mengikat mereka. Sastra lisan sebagai sindiran. Adapun untuk struktur folklor menurut Nurgiyantoro (2005:60) meliputi tema, latar, alur, sudut pandang, gaya bahasa dan motif.
     Cerita rakyat biasanya berisi tentang kisah orang-orang sakti, hal-hal yang mistis, di luar logika, atau cerita tentang asal-usul tempat atau daerah. Cerita rakyat dikenal pula dengan istilah oral literature. Cerita rakyat dapat pula diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berkaitan langsung dengan berbagai aspek budaya dan tatanan nilai sosial suatu masyarakat. Cerita rakyat dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu mite, legenda, dan dongeng.
     Istilah filologi lisan tentu saja sangat mengejutkan, sebab biasanya istilah ini selalu dikaitkan dengan teks-teks atau naskah kuno yang tertulis. Sastra lisan (folklor) itu sebagai lifely fossil which refuses, maka teks-teks sastra lisan yang lebih tepat disebut teks lisan, juga mengandung “kekunoan” disamping “kekinian”. Disamping itu, yang pasti adalah sebuah teks lisan (yakni setelah ditranskripkan ke tulisan) dapat dianalisis seperti halnya tek tertulis. Dari hasil analisis itu akan mendapatkan perkembangan kerohanian suatu bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Juwati. 2018. Sastra Lisan Bumi Silampari: Teori, Metode, dan Penerapannya. Sleman:Penerbit Deepublish.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.























Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah ke-pgri-an hubungan pgri secara vertikal dan horizontal

BAB I PENDAHULUAN B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas sebagai berikut. 1. Bagaimana kerjasama PGRI secara vertikal ? 2. Bagaimana kerjasama PGRI secara horizontal ? 3. Bagaimana hubungan PGRI dengan pemerintah pusat ? 4. Bagaimana hubungan luar negeri dengan Educational International (EI) ? C. Tujuan Pembahasan 1. Untuk mengetahui bagaimana kerjasama PGRI secara vertikal . 2. Untuk mengetahui bagaimana kerjasama PGRI secara horizontal. 3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan PGRI dengan pemerintah pusat. 4. Untuk mengetahui bagaimana hubungan luar negeri dengan Educational International (EI) D. Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup makalah ini hanya membahas mengenai kerjasama PGRI secara vertikal, kerjasama PGRI secara horizontal, hubungan PGRI dengan pemerintah pusat serta membahas mengenai hubungan luar negeri dengan EI (Educational International). E. Man

Makalah Perkembangan Peserta Didik Tugas Perkembangan Kehidupan Pribadi, Pendidikan dan Karir, Kehidupan Berkeleuarga dan Penyesuaian Diri Remaja

KATA PENGANTAR         Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji syukur atas Kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah perkembangan peserta didik tentang “Tugas Perkembangan Kehidupan Pribadi, Pendidikan dan Karier,Kehidupan Berkeluarga dan Penyesuaian Diri Remaja”. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam proses pembuatan makalah ini, untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.           Dalam pembuatan makalah ini, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih ada   kekurangan   baik dari susunan, kalimat, maupun tata bahasa. Oleh karena itu, saran dan kritik dari teman-teman dan dosen sangat kami harapkan untuk dapat memperbaiki makalah kami kedepannya. Kami harap makalah perkembangan perserta didik tentang “Tugas Perkembangan Kehidupan

Makalah Teori Sastra Hakikat Puisi, Struktur Bentuk Puisi,Batasan Puisi, dan Jenis-Jenis Puisi

KATA PENGANTAR         Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji syukur atas Kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah teori sastra tentang “Hakikat Puisi, Struktur Bentuk Puisi, Batasan-Batasan Puisi, Jenis-Jenis Puisi”. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam proses pembuatan makalah ini, untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.           Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini masih ada   kekurangan   baik dari susunan, kalimat, maupun tata bahasa. Oleh karena itu, saran dan kritik dari teman-teman dan dosen sangat kami harapkan untuk dapat memperbaiki makalah kami kedepannya. Diharap makalah teori sastra tentang “Hakikat Puisi, Struktur Bentuk Puisi, Batasan-Batasan Puisi, dan Jenis-Jenis Puisi” dapa